Jadikan Pabuaran sebagai Cibaduyut Kedua

- 31 Juli 2017, 07:45 WIB
industri sepatu rumahan
industri sepatu rumahan

Produk sepatu asal Kampung Ranca Sumur, Desa Sindang Sari, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang sudah mampu menembus pasar mancanegara. Namun, nampaknya hal itu tidaklah cukup. Sang pemilik berharap industri rumahannya ke depan bisa berkembang menjadi Cibaduyut kedua sebagai pusat sepatu berkualitas. Pemilik home industry sepatu asal Kecamatan Pabuaran, Muhdi mengatakan, sudah membuat sepatu sejak tahun 1984. Pada saat itu dirinya belajar dari home industry tempatnya bekerja di wilayah Jakarta. Sekitar tahun 1985, dirinya sudah mulai mahir membuat sepatu jenis pantofel. Tak puas hanya membuat pantofel, ia juga belajar membuat sendal. "Pertama belajar itu buat pantofel, setelah saya sudah 3-4 tahun saya cari pengalaman. Saya dari pabrik ke pabrik cari pengalaman, tadinya enggak bisa sendal, tapi sekarang alhamdulillah," ujar Mahdi kepada Kabar Banten saat ditemui di kediamannya, Sabtu (29/7/2017). Ia menuturkan, sekitar tahun 2009 ia bersama istri memutuskan untuk membuka usaha membuat sepatu. Walau dengan modal sangat terbatas, akhirnya usahanya tersebut bisa berjalan juga. Pada saat itu, produk sepatu dan sendal yang dibuatnya banyak merupakan pesanan dari pemilik merek-merek ternama, seperti Yongki, Fladeom dan Bipaten. "Masih nyicil waktu itu ngerjainnya," katanya. Dengan merek ternama tersebut, produk sepatunya kini tembus ke pasar luar negeri yakni Turki. Namun kemudian, dengan berbagai pertimbangan, pada tahun 2012 lalu, dirinya memutuskan untuk menggunakan merek sendiri. "Sekitar tahun 2012 kita mulai pakai merek sendiri atas saran dinas waktu itu. Mereknya Rosalie, itu diambil dari kata Rosa yang artinya kuat atau tahan dan li dari kata lila yang artinya lama. Jadi Rosalie itu kurang lebih artinya tahan lama," tuturnya. Namun, sejak menggunakan merek dagang sendiri, penjualannya menurun drastis. Kondisi tersebut justru menjadi pelecut untuk terus semangat dengan melakukan berbagai cara memasarkan dan memperkenalkan produknya. "Pas saya berhenti dari merek orang kan susah, jadi saya jualnya masuk ke kantor terus keliling. Paling dapat satu," katanya. Untuk memasarkan produknya tersebut, dirinya pun rajin mengikuti pameran-pameran. Setiap kali mengikuti pameran, dirinya tidak pernah lupa membagikan kartu nama kepada setiap pengunjung. Kartu nama itulah yang menjadi cara marketing bagi produknya. "Pakai kartu nama saja marketingnya, siapa tahu ada yang nyangkut kan gitu. Enggak pakai sistem online, karena di sini juga jaringannya jelek kan," ucapnya. Namun berkat cara marketingnya tersebut, kini produknya pun mulai dikenal. Home industry-nya pun tidak pernah berhenti berproduksi. Walau tak sebanyak saat menggunakan merek orang lain, namun produknya pun mulai diakui dan diminati. Bahkan pada April lalu, dirinya pun sempat mendapatkan tawaran ekspor ke Kanada. Akan tetapi dengan berbagai pertimbangan, tawaran tersebut belum diterimanya. "Kalau ekspor kan harus banyak karyawannya, produknya, belum sanggup lah. Padahal katanya kalau ekspor gitu modalnya dikasih untuk pembuatan berapa pasang gitu. Saya sudah sempat ikut pelatihan ekspornya," tuturnya sembari menunjukkan surat permintaan kerja sama tersebut. Walau belum menerima ekspor, namun dirinya mengaku bersyukur sebab penghasilannya pun masih lebih dari cukup. Dalam sebulan diperkirakan omzet dari sepatu dan sendalnya mencapai Rp 5-6 juta. Angka tersebut terhitung baik, sebab usahanya tersebut masih dalam bentuk UMKM.  "Dalam sebulan itu sekitar 100 pasang bisa lebih. Sepatu paling banyak, kalau lebaran sendal cowok-cewek. Omzet segitu juga alhamdulillah, tapi saya tidak berhenti di situ, saya terus kembangkan, saya ingin se-Banten bisa tahu semua," tuturnya.

Pabuaran menjadi Cibaduyut kedua

Selain fokus membuat sendal dan sepatu, ia beserta anak istrinya pun rajin memberikan pelatihan pembuatan sepatu. Hal itu terbukti dengan berbagai piagam dan sertifikat yang terpajang di dinding rumahnya. "Saya sering kasih pelatihan, jadi instruktur di disnaker provinsi sama dinas perindustrian provinsi. Terus ke Surabaya juga, bahkan yang dari Surabaya nya sempat kesini untuk memastikan bahwa UMKM saya benar-benar berjalan," katanya. Ke depan, ia ingin masyarakat se-Provinsi Banten bisa mengetahui produknya. Bahkan dia bercita-cita agar Pabuaran mendatang bisa menjadi Cibaduyut kedua di Indonesia, tempat sendal dan sepatu berkualitas.  "Ke depan saya ingin SDM di sekitar saya bisa ditarik. Pengangguran bisa ketarik, daripada nganggur enggak karuan mending ke sini," ucapnya. Istrinya, Maryam mengatakan, harga sendal dan sepatu beragam, mulai dari Rp 70.000-Rp 150.000 untuk sendal. Sedangkan sepatu harganya kisaran Rp 100.000- Rp 150.000.  "Kalau kulit bisa sampai Rp 350.000. Jenisnya beragam mulai dari flat, high heels, pantofel, sepatu sport juga ada," katanya. (Dindin Hasanudin/KB)***

Editor: Kabar Banten


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah