Handphone atau HP Disebut Mempercepat Kerusakan Lingkungan dan Membahayakan Manusia? Berikut Penjelasannya

- 22 Mei 2023, 19:53 WIB
Ilustrasi handphone atau hp.
Ilustrasi handphone atau hp. /Freepik.com

 

KABAR BANTEN - Teknologi telah membawa kemudahan di dalam genggaman kita, memungkinkan semua orang untuk melakukan berbagai hal, seperti bekerja, melakukan transaksi pembayaran, menonton film, bermain game melalui handphone atau HP.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa saat ini hampir semua orang sulit berpisah dengan handphone (HP) mereka.

Tidak mengherankan bahwa saat ini semua orang tidak dapat melepaskan diri dari handphone (HP), mengingat jumlah HP yang beredar di dunia mencapai 6,84 miliar, melebihi jumlah penduduk dunia menurut data Statista (2023).

Menurut data yang diungkapkan oleh Kemenkominfo, jumlah HP di Indonesia pada tahun 2021 mencapai 345,3 juta, melebihi jumlah penduduk Indonesia yang hanya 271,35 juta.

Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata setiap individu memiliki lebih dari satu HP pada saat yang bersamaan, jika kita merujuk pada data-data tersebut.

Meskipun demikian, laporan terbaru dari organisasi lingkungan hidup Greenspector (2021) mengungkapkan bahwa penggunaan benda kecil, tipis, dan ringan seperti handphone (HP) secara tidak langsung mempercepat kerusakan lingkungan.

Dampak ini terjadi dalam setiap tahap keberadaan HP, mulai dari proses produksi hingga pembuangan limbah (e-waste).

Sebagai contoh, saat memproduksi satu HP baru, produsen harus menggunakan bahan bakar fosil untuk memanaskan mesin-mesin di pabrik.

Selain itu, proses perakitan HP juga membutuhkan penggunaan plastik dan bahan metal yang tidak ramah lingkungan.

Tak hanya itu, produsen juga menciptakan baterai lithium. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengungkapkan bahwa proses terakhir ini memiliki dampak besar terhadap lingkungan.

Setiap kali terjadi penambangan lithium, terjadi pemborosan sumber daya listrik dan air dalam skala besar. Ironisnya, sumber daya ini seharusnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup banyak orang, tetapi malah berkontribusi pada peningkatan emisi karbon dan nitrogen secara global.

Selain itu, permasalahan ini juga memunculkan keprihatinan terhadap kondisi para penambang, terutama di wilayah Afrika, yang seringkali menerima bayaran yang minim namun menghadapi risiko kesehatan yang serius.

Bayangkan apa yang akan terjadi jika ratusan atau ribuan HP diproduksi secara bersamaan? Dampaknya terhadap lingkungan pasti sangat besar.

Tidak mengherankan bahwa periset Lotfi Belkhir dalam artikelnya di The Conversation menyatakan bahwa proses produksi merupakan penyumbang terbesar terhadap 'kiamat' sebuah HP dengan persentase 85%.

Pada saat HP digunakan dan akhirnya dibuang, dampaknya tidak dapat diabaikan.

Ketika HP sudah berada di tangan konsumen, dan kita langsung terlibat dalam penggunaan 10 aplikasi media sosial dalam sehari, hal ini sebanding dengan perjalanan mobil sejauh 1,5 km per hari atau 534 km per tahun.

Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh The Burrow mengungkap bahwa saat seseorang bermain TikTok, misalnya, dapat menghasilkan emisi karbon sebesar 2,63 gram per menit. Semakin lama kita bermain HP, semakin banyak data yang disimpan di server.

Semua ini memberikan beban yang signifikan pada pusat data yang beroperasi 24 jam non-stop, menyebabkan penggunaan listrik dan pendingin yang berkontribusi pada perubahan iklim.

Namun, masalah tidak berhenti di situ. Tingginya intensitas penggunaan HP oleh manusia juga menghadirkan masalah baru.

Seperti yang dipaparkan oleh Wired, kerusakan HP dan upaya perbaikannya bukan lagi opsi terbaik di era HP yang tipis dan ringan. Desain yang semacam itu membuat proses perbaikan menjadi lebih sulit.

Meskipun ada yang mencoba, prosesnya memakan waktu lama dan biayanya tinggi. Oleh karena itu, satu-satunya solusi yang dianggap terbaik adalah "lem biru" atau "lempar beli baru."

Meskipun kebiasaan ini menguntungkan konsumen dan produsen, perlu diperhatikan bahwa limbah HP dapat menyebabkan penderitaan yang lebih besar bagi manusia.

Dalam rilis media pada tahun 2019, PBB melaporkan bahwa setiap tahunnya terdapat sekitar 50 juta ton limbah HP, laptop, tablet, dan komputer yang digunakan oleh manusia.

Angka ini diprediksi akan meningkat menjadi 120 juta ton per tahun pada tahun 2050. Wired menjelaskan bahwa HP mengandung mineral dan bahan kimia yang berbahaya ketika dibuang.

Ketika dibuang ke tanah atau air, bahan kimia dan zat karsinogenik tersebut akan terlepas dan masuk ke dalam tanah, sumber air, dan makanan, serta akhirnya masuk ke dalam tubuh manusia.

Masalah semakin kompleks ketika menyadari bahwa negara dan masyarakat sering kali asal-asalan dalam membuang HP tanpa prosedur khusus yang tepat.

Dikutip dari laman The Guardian (the guardian.com), 90% limbah HP atau elektronik pada umumnya dibuang secara ilegal.

Negara-negara maju seringkali mengirim puluhan kontainer ke negara-negara di Asia dengan tujuan membuang sampah HP. Di sinilah negara-negara di kawasan Asia menjadi terkena dampaknya.

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2021, tindakan ini dianggap sebagai "tsunami limbah elektronik" yang mengancam nyawa dan kesehatan.

Lebih dari 12,9 juta perempuan dan 18 juta anak-anak berisiko terkena penyakit serius akibat terpapar kontaminasi merkuri, nikel, dan timbal yang berasal dari sampah HP.

Meskipun daur ulang HP dianggap sebagai solusi, namun implementasinya masih belum memuaskan.

Data menunjukkan bahwa hanya 17% HP yang dapat didaur ulang, tetap saja menyebabkan permasalahan, penggunaan HP sulit untuk diatasi karena keberadaannya telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, satu-satunya solusi adalah berusaha untuk memperpanjang masa pakai HP dan menahan diri untuk tidak membeli HP baru kecuali benar-benar diperlukan.***

 

Editor: Kasiridho

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah