Revisi UU Ciptaker Mestinya Mereplikasi Keterbukaan UU TPKS, Puan Maharani: DPR Tunggu Surpres

- 25 Mei 2022, 16:00 WIB
Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan bahwa DPR menunggu surpres untuk memulai revisi UU Ciptaker
Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan bahwa DPR menunggu surpres untuk memulai revisi UU Ciptaker /Tangkapan layar instagram @puanmaharaniri

KABAR BANTEN - Gerak cepat Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR pemerintah dalam mengesahkan Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) disebut tidak melibatkan keterlibatan publik. Hal itu dikhawatirkan proses ini akan terulang lagi dalam pembahasan perbaikan Undang Undang Cipta Kerja atau UU Ciptaker.

“Mengingat tidak ada progres signifikan dalam hal keterbukaan dan partisipasi publik (di revisi UU PPP dan UU IKN), perbaikan UU Cipta Kerja potensial berakhir sama. Kepentingan yang mau disasar bukan kepentingan publik, sehingga partisipasi publik potensial dianggap tidak relevan dan formalitas,” kata Peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe) Violla Reininda, Rabu 25 Mei 2022.

Padahal salah satu amar putusan MK terkait UU Ciptaker adalah Membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat yang mau mengkritisi dan memberikan masukan terhadap revisi UU Ciptaker. RUU P3 yang disahkan ini disebut akan menjadi landasan hukum bagi UU Ciptaker.

Partisipasi publik dalam pembentukan UU kata dia, harus dibaca bersamaan dengan beberapa aspek, yaitu Akses seluruh dokumen terkait pembentukan dan Proporsionalitas waktu pembentukan dan Bagaimana DPR dan Pemerintah secara aktif mengundang dan melibatkan masyarakat. Namun ketiganya tidak tercapai dalam pembahasan revisi UU P3.

Baca Juga: Agar tak Timbulkan Euforia Berlebihan, Puan: Pencabutan PPKM Harus Ada Strategi Matang

Pembahasan ini hanya dilakukan kurang dari dua pekan, dan dokumen tidak dapat diakses oleh masyarakat.

“Kanal-kanal, rapat-rapat terbuka di media sosial bernilai formalitas. Tidak bisa dijadikan patokan partisipasi karena tidak terdapat komunikasi dua arah dan interaktif,” kata Violla.

Kemudian partisipasi publik, seperti yang terjadi dalam pembahasan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) diinisiasi oleh kelompok masyarakat. Harusnya, kata dia, pemerintah dan DPR yang pro aktif.

“Partisipasi publik artinya DPR dan Pemerintah yang proaktif dan inisiatif melibatkan masyarakat dan pihak-pihak yang terkait, bukan sebaliknya,” tandas Violla.

Baca Juga: Puan Minta Pemerintah Optimalkan Penyerapan Anggaran PEN untuk Kesejahteraan Masyarakat

Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, DPR saat ini menunggu surat presiden (surpres) untuk memulai perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) usai mengesahkan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU P3) menjadi undang-undang.

"Kita akan tunggu surpres dari Presiden. Kemudian, sesuai mekanisme di DPR, akan kita teruskan untuk dilaksanakan sesuai dengan mekanismenya," kata Puan Maharani.

Menurut dia, revisi UU P3 sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyoal metode omnibus law tak diatur dalam UU P3 sebelum direvisi.

Puan Maharani berharap UU P3 hasil revisi dapat diimplementasikan dan memberi manfaat.

Dipecah jadi 11 UU

Ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menyarankan agar pembentukan omnibus law tidak seperti yang saat ini dengan memasukkan bahasan semua dalam satu UU.

Menurut dia, UU Ciptaker terlalu gemuk dengan memuat 11 klaster dan memasukkan 79 undang-undang di dalamnya.

"Bikin UU Omnibus bukan bikin 11 UU dibuat satu. Itu keliru gak bisa, terlalu besar. Harusnya kalau buat omnibus dibikin kecil-kecil. satu klaster-satu klaster. Ini kan 11 klaster, 79 UU," ujar Zainal.

Menurut dia UU Ciptaker bisa dipecah menjadi 11 UU yang lebih kecil dengan cakupan yang lebih khusus per klaster.

"Kalau saya harusnya, bikin 11 klaster itu berarti bikin 11 UU omnibus. Harusnya dibuat lebih kecil-kecil," tegasnya.

Baca Juga: Puan: DPR Tunggu Surpres Tindaklanjuti Putusan MK Soal UU Ciptaker

Zainal juga mengungkapkan salah satu yang penting dalam UU P3 adalah partisipasi publik. Sayangnya, hal itu tidak dibahas secara mendetail. Padahal MK sudah memberikan batas bahwa UU dibuat dengan mekanisme yang meaningfull participation.

"Meaningful participation itu gak dibahas dengan detail. MK bilang partisipasi publik itu harus dengan meaningful participation. Itu tidak dibahas dengan detail dalam UU P3 dan itu bermasalah menurut saya," terang Zainal.

Sebagai informasi, meaningful participation merujuk pada partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU dilakukan secara bermakna, sehingga tercipta partisipasi dan keterlibatan publik yang sungguh-sungguh. Publik yang dimaksud adalah kelompok dan masyarakat yang terdampak aturan UU Cipta Kerja.

Baca Juga: Larangan Ekspor Dicabut, Puan Minta Pemerintah Awasi Ketat Harga Minyak Goreng di Pasaran

Serta kelompok masyarakat yang punya perhatian terhadap UU yang tengah dirancang. Jadi, partisipasi publik mesti memenuhi tiga syarat. Yaitu hak publik untuk didengarkan, dipertimbangkan, dan diberi penjelasan/jawaban.

Sebab itu, Zainal mengkhawatirkan rancangan UU P3 yang menurutnya bermasalah malah dijadikan sebagai landasan dalam mengubah UU Ciptaker.

"Saya agak khawatir kalau kemudian tiba-tiba rancangan UU yang agak bermasalah ini dipakai untuk mengubah UU Ciptaker. Bahkan alih-alih memenuhi keputusan MK, yang terjadi adalah dia membuat semacam alasan untuk membenarkan kesalahan yang ditegur oleh MK itu," tandasnya.***

Editor: Kasiridho


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah