KABAR BANTEN - Dalam bersosial media, kita harus bijak dan mengikuti norma yang berlaku, jangan sampai terjerat Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektroni atau UU ITE.
Seperti kasus pada artis Indonesia, Nikira Mirzani yang saat ini masih menjalani proses hukum di Polresta Serang Kota karena telah melanggar UU ITE dan melakukan pencemaran nama baik.
Namun, hal itu bisa saja akan menimpa kalian atau siapa pun jika tidak bijak dalam bersosial media, dan melakukan pencemaran nama baik tanpa disadari ternyata telah melanggar UU ITE.
Mengutip dari akun instagram @sisihukum, akan menjelaskan seperti apa dan bagaimana seseorang bisa terjerat tindak pidana pencemaran nama baik karena melanggar UU ITE.
Dalam Pasal 27 (3) jo Pasal 45 (3) UU ITE dijelaskan, 'Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan pencemaran nama baik.
Maka, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak Rp750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).'
Baca Juga: Tersangka Perakit Odong-odong Maut Tidak Ditahan, Ini Penjelasan Polisi
Kemudian, untuk lebih jelasnya terdapat beberapa unsur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, termasuk uraiannya.
Setiap orang atau penyebar Informasi atau dokumen dapat menjadi tersangka atau terdakwa tindak pidana apabila penyebar dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Pihak kepolisian juga harus melakukam analisis secara mendalam untuk menemukan siapa penyebar utama konten tersebut.
Kemudian, apabila dengan sengaja dan tanpa hak, unsur ini harus dibuktikan kepada siapa penyebar memberitahukan konten tersebut serta dengan tujuan apa.
Apakah tujuan dibuatnya konten untuk menjelek-jelekan secara personal atau untuk memberi tahu adanya dugaan suatu tindak pidana ?
Sebab, mendistribusikan atau mentransmisikan dan membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik bisa dipidana.
Baca Juga: 10 Nama Bayi Perempuan Islami Awalan Siti, Bermakna Baik Hati dan Selamat dalam Hidupnya
Apabila unsur itu sudah terpenuhi dan konten tersebut dapat diakses oleh berbagai pihak dan diketahui oleh umum.
Selanjutnya, muatan berisik penghinaan atau pencemaran nama baik, maka Unsur ini harus dikritisi dan dianalisis lebih lanjut dengan bantuan ahli bahasa.
Namun sebenarnya, dalam pelaksanaan Pasal 27 (3) UU ITE menimbulkan multitafsir dan kontroversi di masyarakat.
Sehingga diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229, 154, KB/2/V1/2021 Tahun 2021.
Baca Juga: 10 Pertanyaan Asah Otak Tentang Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus
Tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Aturan tersebut diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 50/PUU-V1/2008, pengertian muatan penghinaan atau pencemaran nama baik yang merujuk dan tidak bisa dilepaskan dari ketentuan pasal 310 dan 311 KUHP.
Bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan atau pencemaran nama baik, tapi jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah penilaian, pendapat, serta hasil evaluasi atau sebuah kenyataan, maka akan ada konsekuensi pidana.
Baca Juga: 4 Kelebihan Wanita Gemuk yang Jarang Diketahui, Ternyata Hidupnya Selalu Bahagia dan Menggemaskan
Fakta yang dituduhkan juga merupakan perbuatan yang sedang dalam proses hukum, maka fakta tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya.
Sebelum Aparat Penegak Hukum (APH) memproses pengaduan atas delik penghinaan atau pencemaran nama baik yang telah melanggar UU ITE.
Dalam delik pidana Pasal 27 (3) UU ITE adalah aduan absolut, sehingga harus korban sendiri yang mengadukan kepada aparat penegak hukum.
Kecuali dalam hal ini korban masih di bawah umur atau dalam perwalian, maka sebagai pelapor harus merupakan perseorangan dengan identitas spesifik, bukan institusi, korporasi, profesi, atau jabatan. ***