Network
KABAR BANTEN - Budaya Betawi yang kaya dan beragam ternyata memiliki akar yang dalam dari pengaruh etnis Tionghoa. Menelusuri jejak sejarah, kita dapat memahami bagaimana Dinasti Ming yang runtuh pada tahun 1644 menjadi pemicu datangnya orang Tionghoa ke Indonesia, khususnya suku Betawi.
Namun, sejarah ini tidak sekadar perjalanan ke suatu tempat, melainkan awal dari proses akulturasi yang unik. Berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang tiba di Indonesia dengan niatan menjajah, orang Tionghoa datang dengan semangat berdagang.
Mereka tidak hanya membawa keterampilan dan pengetahuan dalam industri pembuatan alat rumah tangga, tetapi juga semangat rajin dan keahlian dalam mencari rezeki.
Di masa itu, orang Tionghoa, terutama yang berasal dari Hokkian Selatan, dikenal sebagai pekerja keras yang mahir dalam berdagang.
Saat berdagang, orang Tionghoa kebanyakan tidak membawa pasangan hidup mereka ke Indonesia karena adanya larangan perempuan Tionghoa untuk keluar dari Tiongkok.
Hal ini membawa mereka pada jalan pernikahan dengan perempuan-perempuan Indonesia. Inilah awal mula terbentuknya peranakan Indonesia - Tionghoa.
Mereka tidak hanya menetap di Indonesia, tetapi juga melebur dengan bahasa, makanan, pakaian, dan agama yang ada di Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa kurang lebih 5.000 orang Tionghoa datang ke Batavia, dan pada tahun 1683, jumlah mereka melebihi 100.000 orang.
Di Jakarta, hampir setengah dari kebudayaan Betawi memiliki akar dalam akulturasi budaya Tionghoa. Contohnya, kata-kata seperti "elu-gue," "encang-encing," "cepe-gope-goban," dan bahkan simbol ikonik seperti ondel-ondel, merupakan hasil langsung dari pengaruh Tionghoa.
