Akademisi : Cegah Potensi Kekerasan di Pembelajaran Daring

21 September 2020, 07:00 WIB
stop kekerasan ilustrasi /

KABAR BANTEN – Era pandemi Covid-19 menyebabkan sebagian besar sekolah menerapkan pembelajaran dalam jaringan (daring). Namun pemangku kepentingan diharapkan bisa mencegah adanya potensi kekerasan di pembelajaran daring.

“Kasus bocah SD yang dibunuh gara-gara susah diarahkan ibunya untuk mengikuti pembelajaran daring menyadarkan kita bahwa penerapan pembelajaran melalui dalam jaringan (daring) memiliki potensi kekerasan di lingkungan keluarga,” kata Akademisi Untirta Encep Andriana dalam obrolan dengan Kabar Banten, acara siaran pagi Serang Gawe FM, Kamis 17 September 2020.

Meskipun belum melihat kaitan langsung pembelajaran daring dengan kasus pembunuhan, namun kasus  tersebut merupakan peringatan kepada orang tua, guru, sekolah dan pemerintah pusat dan daerah untuk lebih tepat dalam penerapan pembelajaran  daring.

Baca Juga : Sepucuk Surat 'Keysya' untuk Mama dan Papa, Isinya Mengharukan

Diketahui, pada Sabtu 12 September 2020 publik dihebohkan dengan penemuan jasad bocah perempuan 9 tahun atau usia SD di TPU Kampung Gunung Kendeng,  Desa Cipalubuh, Kecamatan Cijaku, Kabupaten Lebak.

Polisi kemudian langsung bisa mengungkap kasus tersebut yang kemudian diketahui korban pembunuhan. Polisi menangkap tersangka ditangkap di daerah Jakarta Barat pada Ahad 13 September 2020. Keduanya merupakan warga Kecamatan Penjompongan, Tanah Abang, Jakarta Pusat yang merupakan kedua orang tua korban.

Korban dikuburkan di TPU tersebut pada 26 Agustus 2020 oleh IS. Saat hendak menguburkan korban, tersangka IS meminjam cangkul kepada warga di sekitar lokasi TPU dengan alasan akan mengubur kucing.

Berdasarkan hasil pemeriksaan polisi terhadap tersangka,  korban dipukuli oleh ibunya sendiri karena kesal korban susah untuk mengikuti pembelajaran daring.

Encep mengungkapkan beberapa permasalahan pembelajaran darung tersebut yakni tugas yang dilakukan secara instruktif, berorientasi pada kemampuan kognitif, pola pembelajaran yang tidak kreatif menyebabkan anak menjadi bosan dan cenderung tidak mau mengerjakan tugas. Disisi lain, orang tua sering tertekan dengan kondisi anak yang tidak mau belajar sementara guru menuntut laporan dari orang tuanya.

“Persoalan ini yang bisa memicu terjadinya kondisi emosi yang tidak stabil, bisa memicu kemarahan, dan kalau tidak mengendalikan yang terjadi tindakan kekerasan,” katanya.

Baca Juga : Setelah Dikubur, Keysya Bocah Korban Pembunuhan Temui Ibunda Lewat Mimpi

Ia mendorong  pemerintah sigap untuk melakukan inovasi kurikulum pembelajaran yang disesuikan dengan masa pandemi Covid-19. Misalkan mengurangi aspek pembelajaran yang bersifat kognitif tetapi memberikan porsi pada aspek afektif dan psikomotorik. Selain itu, guru dituntut kreatif menghadapi kondisi sekarang.

“Beberapa sekolah juga sudah menerapkan pola home visit. Ini bagian dari menghilangkan kejenuhan anak,” katanya.

Untuk pihak sekolah pentingnya mengangkat konselor atau tenaga pengajar yang berbasis psikologi pendidikan dalam memberikan bimbingan kepada orang tua siswa. 

“Mengingat orang tua siswa tidak semuanya memiliki latar belakang yang sama dalam membimbingan, menemani anak dalam belajar daring. Yang paling utama ditekankan kepada orang tua yakni harus ekstra sabar dan utamakan rasa kasih sayang dalam menghadapi anak,” kata Encep.***

Editor: Maksuni Husen

Tags

Terkini

Terpopuler