3 Pahlawan Nasional asal Banten, Ini Sekilas Perjuangannya dalam Kemerdekaan Indonesia

3 Agustus 2021, 13:16 WIB
Presiden Jokowi memimpin upacara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional, di Istana Negara, Jakarta, Kamis 8 Nopember 2018. Salah satunya pahlawan Nasional asal Banten, Brigjen KH. Syam'un. /setkab.go.id

KABAR BANTEN- Inilah 3 pahlawan Nasional asal Banten, yang sangat berjasa dalam kemerdekaan Indonesia yang merayakan HUT ke-76 RI, pada 17 Agustus mendatang.

Mereka ada pahlawan Nasional asal Banten, yang berjuang melawan penjajah di tanah jawara pada masanya.

Dari Sultan Ageng Tirtayasa, KH. Brigjen Ki Syam'un, hingga Mr. Syafruddin Prawiranegara. Berikut kisah perjuangan pahlawan Nasional asal Banten.

Baca Juga: Usulan dari Banten Kandas, Enam Tokoh Dianugerahi Pahlawan Nasional

Dikutip kabarbanten.pikiran-rakyat.com dari dinsos.bantenprov.go.id, berikut sekilas perjuangan 3 pahlawan Nasional asal Banten:

 

1. Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan Rau Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. 

Ketika kecil, Sultan Ageng Tirtayasa yang bergelar Pangeran Surya, ditinggal wafat ayahnya wafat.

Sepeninggal ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa diangkat menjadi Sultan Muda bergelar Pangeran Rau atau Pangeran Dipati. 

Setelah kakeknya meninggal dunia, ia kemudian diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. 

Nama Sultan Ageng Tirtayasa, berasal ketika mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa, di Kabupaten Serang.

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651-1683, memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. 

Pada masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. 

Sultan menolak sistem monopoli VOC, dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan islam terbesar.

Di bidang ekonomi, Sultan Ageng Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat, dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi.

Di bidang keagamaan, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat Sultan. 

Namun sengketa terjadi antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, dan Belanda ikut campur dengan sekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.

Sultan Ageng Tirtayasa yang lahir di Kesultanan Banten pada 1631, wafat di Batavia, Hindia Belanda pada1692, di umur 60 - 61 tahun.

Sultan Ageng Tirtayasa adalah Sultan Banten ke-6, naik takhta pada usia 20 tahun meneruskan warisan Sultan Abdul Mufakhir yang wafat pada tanggal 10 Maret 1651.

 

2. Brigjen K.H. Syam’un

KH. Syam’un bin H. Alwiyan adalah pendiri Perguruan Tinggi lslam Al-Khairiyah Citangkil, Desa Wanasari Kecamatan Pulomerak, Kota cilegon, Banten. 

Brigjen KH. Syam’un merupakan putra pasangan taat beragama yakni H. Hajar dan H. Aiwiyan, masih keturunan dari KH. Wasid, tokoh 'Geger Cilegon' 1888.

Sejak masih anak-anak, Brigjen KH. Syam’un mendapat pendidikan pesantren. Tepatnya pada usia 4 tahun, sudah dikirim orang tuanya menimba ilmu agama di pesantren Delingseng, selama dua tahun, 1898-1900.

Brigjen KH. Syam'un yang masih usia balita belajar di bawah asuhan K.H. Sa’i, dilanjutkan ke Pesantren Kamasan pada 1901-1904 di bawah asuhan K.H Jasim. 

Baru pada umur 11 tahun atau seusia murid sekolah dasar kelas 5, Brigjend KH. Syam'un melanjutkan studi ke Mekkah pada 1905-1910.

Selama 5 tahun, Brigjen KH. Syam'un berguru di masjid Al-Haram, tempat ahli-ahli keislaman terbaik di dunia berkumpul membagi ilmu. 

Pendidikan akademiknya dilalui di Al-Azhar University Cairo Mesir, yang saat itu masih masuk dalam jajaran perguruan tinggi termasyhur di dunia. Disini, Brigjen KH. Syam’un kuliah dari 1910-1915.

Setelah kembali ke Indonesia, Brigjen KH. Syam'un bergabung dalam PETA yang notabene adalah gerakan pemuda bentukan Jepang. 

Bagi orang yang tidak mengerti, ia mungkinn dianggap plin-plan. Padahal, yang dilakukan adalah mempersiapkan perlawanan.

Sebab, dalam peperangan tanpa persiapan merupakan haI yang konyol. Bukan kemenangan yang didapat, malah kekalahan yang akan datang.

Dalam PETA, jabatan Brigjen KH. Syam’un adalah Dai Dan Tyo, yang membawahi seluruh Dai Dan I PETA yang wilayah kekuasaannya meliputi Serang, yang pada akhirnya pindah ke Labuan.

Selama menjadi Sai Dan Tyo, Brigjen KH. Syam’un sering mengajak anak buahnya untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan Jepang.

Maksud tersebut ia utarakan kepada Pemimpin Dai Dan Tyo M KH. Oyong Ternaya dan Dai Dan Tyo IV Uding Surya Atmadja untuk mengumpulkan kekuatan. 

Keterlibatannya dalam dunia militer, mengantarkan Brigjen KH. Syam’un menjadi pimpinan Brigade l Tirtayasa Badan Keamaman Rakyat (BKR).

Kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan berganti menjadi TNI Divisi Siliwangi. Dengan pangkat terakhir BrigadirJendral (Brigjen).

Karirnya di ketentaraan terbilang gemilang, hingga diangkat menjadi Bupati Serang periode 1945-1949.

Di sela jabatannya sebagai Bupati Serang sekitar tahun 1948, Brigjen KH. Syam’un masih mengurus pesantren. 

Pada tahun yang sama, meletus Agresi Militer Belanda II yang mengharuskan Brigjen KH. Syam’un bergerilya dari Gunung Karang Kabupaten Pandegaing hingga ke Kampung Kamasan Kec. Cinangka Kabupaten Serang.

Di daerah ini, menjadi tempat tinggal salah satu gurunya, KH. Jasim. Di sinilah Brigjend KH. Syam’un meninggal pada tahun 1949, karena sakit saat memimpin gerilya dari hutan sekitar Kamasan.

 

3. Mr. Syafruddin Prawiranegara

Mr. Syafruddin Prawiranegara atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara, lahir di Serang, Banten, pada 28 Februari 1911.

Sorang pejuang kemerdekaan, Menteri, Gubernur Bank Indonesia, Wakil Perdana Menteti dan pernah menjabat sebagai Ketua (setingkat presiden) Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Syafruddin Prawiranegara menerima mandat dari Presiden Soekarno ketika pemerintahan Republik Indonesia yang kala itu beribu kota di Yogyakarta, jatuh ke tangan Belanda akibat Agresi Militer Belanda ll pada tanggal 19 Desember 1948.

Syafruddin Prawiranegara, kemudian menjadi Perdana Menteri di kabinet tandingan Pemerintahn Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Tengah tahun 1958.

Sebelum kemerdekan, Syafruddin Prawiranegara pemah bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta pada 1939-1940, petugas pada Departemen Keuangan Belanda pada 1940-1942, serta pegawai Departemen Keuangan Jepang.

Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. 

KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis Besar Haluan Negara.

Syafruddin adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hata untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI).

Saat itu, Presiden Soekamo dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap Agresi Militet I, kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka, 1948.

Hata yang telah menduga Soekarno dan dirinya bakal ditahan Belanda, segera memberi mandat Syafruddin Prawiranegara untuk melanjutkan pemerintahan, agar tak terjadi kekosongan kekuasaan.

Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhimya Soekamo dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta.

Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. 

Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta. Syafrudin Prawiranegara meninggal di Jakarta, 15 Februari 1989 pada usia 77 tahun.

Baca Juga: Dua Tokoh Banten Berpeluang Jadi Pahlawan Nasional

Itulah 3 pahlawan Nasional asal Banten, dengan perjuangannya dalam memerdekakan Bangsa Indonesia yang akan berusia 76 tahun pada 17 Agustus 2021.***

Editor: Yadi Jayasantika

Sumber: dinsos.bantenprov.go.id

Tags

Terkini

Terpopuler