Calon Tunggal, Pilihan Tak Tunggal

23 September 2020, 22:50 WIB
/

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 ini mendapat banyak sorotan. Bukan hanya waktunya yang dianggap tidak tepat, karena dilaksanakan di tengah meroketnya jumlah masyarakat yang tertular virus Corona. Tetapi juga soal menguatnya fenomena politik dinasti dan calon tunggal.

Sampai tulisan ini selesai dibuat 19 September 2020, jumlah pasien Covid-19 berada diangka 240.687. Hanya berselang enam bulan setengah semenjak pertama sekali Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warga Indonesia positif terjangkit virus asal Cina, hingga sekarang belum ada tanda-tanda jumlahnya menurun, apalagi melandai.

Banyak ahli epidemologi meyakini, jumlah itu akan terus bertambah sampai ada upaya yang efektif dilakukan pemerintah mengendalikan penularannya yang terkenal sangat cepat.

Dalam rentang waktu enam bulan lebih itu, belum ditemukan puncak dan lembah yang bisa diindikasikan sebagai gelombang pertama. Di sisi lain, obat atau vaksin yang bisa mengobati penyakit ini juga belum ditemukan. Banyak negara berlomba dan saling membantu menemukan vaksin yang bisa menjadi penawar.

Baca Juga : Cegah Pilkada Jadi Klaster Covid-19, Gugus Tugas Kabupaten Serang Evaluasi Tiap Tahapan

Para pakar kesehatan termasuk badan kesehatan dunia (WHO) memprediksi,  setidaknya sampai pertengahan 2021 vaksin belum akan tersedia. Itu berarti, penambahan jumlah warga yang tertular bisa terus bertambah, jika penularannya tidak berhasil dikendalikan.

Di tengah situasi semacam itulah, pilkada yang digelar awal Desember nanti, mendapat banyak sorotan, bahkan permintaan untuk ditunda. Komnas HAM dan organisasi masyarakat sipil misalnya, meminta pemerintah menunda pilkada di tengah masih tingginya ancaman kesehatan dan keselamatan warga negara akibat  pandemi Covid -19.  

Rendahanya komitmen dan disiplin dari para pihak yang berkepentingan dalam tarung politik itu menjadi salah satu alasannya.  Belajar dari pengalaman masa pendaftaran bakal pasangan calon pada 4 – 6 September lalu, misalnya, pelanggaran terjadi dibanyak tempat dan diduga melibatkan bapaslon. Badan Pengawas Pemilu mencatat terjadi 243 pelanggaran protokol kesehatan yang diduga melibatkan bapaslon kepala daerah.

Namun pemerintah, DPR dan KPU telah memutuskan Pilkada tetap diselenggarakan pada 9 Desember 2020 dengan protokol kesehatan yang ketat.

Sementara itu, meski isu lama, politik dinasti pada pilkada serentak gelombang keempat ini, masih terus eksis. Kemunculan calon kepala daerah yang memiliki pertalian darah dengan pejabat publik yang sedang memegang tampuk kekuasaan kian menjamur.

Tidak ada lagi keengganan atau perasaan pantas atau tidak. Ketiadaan norma hukum yang melarang politik dinasti, menjadi palu godam membenarkan praktik politik yang dalam banyak hal, mengganggu proses tumbuh kembangnya demokrasi yang sehat dan berkualitas.

Begitu pun keberadaan calon kepala daerah yang hanya satu pasang, jumlah sebarannya mengalami loncatan cukup tinggi. Pada 2015 lalu hanya ada tiga daerah dari 269 wilayah yang melakukan pilkada, yang ada calon tunggal.

Jumlah ini kemudian mengalami penambahan sebanyak sembilan pasang pada 2017. Melonjak lagi pada pemilihan gelombang ketiga 2018, dari 171 wilayah yang menggelar pilkada sebanyak 16 daerah harus melakukannya dengan satu pasangan calon.

 

Payung Hukum

Pembahasan dampak pilkada dengan satu pasangan calon bagi masyarakat pemilih dan demokrasi sendiri sudah lama. Sampai saat ini pun sesungguhnya persoalan calon tunggal belum dan tidak akan berhenti.

Keberadaanya dianggap merusak esensi dari demokrasi elektoral yang mengharuskan adanya kompetisi dan adu visi, misi, strategi memajukan daerah. Persaingan tercipta jika ada lebih dari satu pasang calon yang sama-sama aktif. Dari sana masyarakat pemilih bisa melihat perbandingan diantara kontestan. Karena Semakin banyak pesaing semakin baik. Masyarakat punya banyak alternatif pilihan.

Baca Juga : Pilkada Serentak 2020, KPU Banten Peringatkan Bapaslon

Itulah demokrasi elektoral. Menyuguhkan banyak pilihan yang baik untuk dipilih satu yang terbaik. Terbaik bagi masyarakat dimana pemilihan itu berlangsung. Karenanya ketika calon tunggal semakin digemari dan bersemi, dalam pandangan penentangnya, itu adalah wujud dari telah dibajaknya demokrasi.

Pilkada tidak lagi menjadi sarana mematangkan pemahaman dan kesadaran kita tentang nilai dan prinsip demokrasi. Sebaliknya pilkada dianggap sebagai mesin kalkulator raksasa yang menghitung selisih suara bagi pemenang. Sementara yang kalah dianggap pecundang.

Meski mendapat sorotan tajam dan penolakan dari sebagain masyarakat, tetapi keberadan calon tunggal di gelanggang pilkada bukan ilegal. UU Pilkada memberi ruang dengan berbagai tahapan yang mesti dilewati.

Mahkamah konstitusi juga telah memutus konsitusionalitasnya. Karena itu tidak tepat juga jika pilkada dengan satu pasangan calon ditolak. Padahal seluruh kondisi yang memungkinkan untuk tidak hadirnya calon tunggal telah dilewati.

 

Pilihan tak Tunggal

Meskipun hanya satu pasangan calon, tetapi pilihan yang tersedia lebih dari satu. Dalam surat suara nantinya disediakan dua pilihan bagi pemilih. Mereka bebas menjatuhkan pilihannya apakah kepada foto pasangan calon atau kolom kosong.

Keduanya memiliki konsekwensi. Jika suara pemilih banyak diberikan kepada kolom kosong, maka pasangan calon yang kalah diperbolehkan mengikuti pemilihan berikutnya. Sebaliknya untuk bisa ditetapkan sebagai pasangan terpilih, harus mendapatkan suara lebih dari 50% suara sah.

Dengan formula seperti ini, tidak serta merta calon tunggal melenggang kangkung menuju kursi kekuasaan. Ia berhadapan dengan lawan tanding yang tidak berwujud, yakni suara-suara di tengah masyarakat yang tidak menghendaki adanya pemilihan dengan satu pasangan calon. Karena itu untuk bisa mengetahui seberapa besar suara yang menolak, diperlukan kemampuan dan kepekaan politik meraba kehendak masyarakat.

Dengan penggambaran seperti ini, sesungguhnya keberadaan calon tunggal dalam pemilihan, tidak menyebabkan pilihan masyarakat menjadi tunggal. Selalu tersedia ruang untuk menentukan sikap politiknya. Menjatuhkannya pada satu diantara dua kolom yang tersedia di surat suara; foto pasangan calon atau kolom kosong.

Agar masyarakat mengetahui, penting bagi penyelenggara pemilihan melakukan sosialisasi yang tepat dan benar. Tepat berarti diarahkan kepada semua masyarakat pemilih tanpa secara merata. Supaya bernilai benar, tujuan sosialisasi dan meterinya sesuai dengan regulasi.

Ini membutuhkan kecermatan, kehati-hatian, dan netralitas yang tinggi. Karena jika salah sasaran, tujuan atau materi yang disampaikan, penyelenggara sangat potensial dianggap berpihak baik kepada calon tunggal atau kolom kosong. (Masudi SR, Anggota KPU Provinsi Banten 2018-2023)***

Editor: Maksuni Husen

Tags

Terkini

Terpopuler