Jejak Tsunami Purba Ditemukan di Lebak Selatan Banten, LIPI Tunjukkan Buktinya, Bikin Para Ahli Tercengang

- 8 Februari 2021, 06:00 WIB
Ilustrasi tsunami dahsyat dan gempa di Selatan Jawa.
Ilustrasi tsunami dahsyat dan gempa di Selatan Jawa. /Pixabay/KELLEPICS

KABAR BANTEN - Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto mengatakan, pihaknya telah menemukan jejak tsunami purba atau tsunami masa lalu di wilayah Lebak selatan.

Temuan jejak tsunami purba dua Lebak selatan tersebut disampaikan Kapuslit Geoteknologi LIPI Eko Yulianto saat webinar bersama, U-INSPIRE Indonesia, ITB, UMN, BSM Umat, Sky Volunteer, BMKG Stamet Serang,Gugus Mitigasi Lebak Selatan dan Camat Panggarangan Kabupaten Lebak Lingga Segara.

"Tahun 2015, LIPI, mengambil sampel ke rawa di Binuangeun (Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak) atau Lebak selatan. Apa kita dapatkan di dalam rawa itu tadi, di bagian atas itu lumpur lunak, di bawahnya kita berpijak pada kayu berukuran besar," kata Eko Yulianto menunjukkan bukti jejak tsunami di Lebak selatan tersebut kepada peserta webinar di Villa Hejo Kiarapayung, Desa Panggarangan, Kecamatan Panggarangan, Minggu, 7 Februari 2021.

Baca Juga: Jejak Sejarah Tsunami di Kota Cilegon, Satu Desa Tenggelam, Danau Ini Jadi Saksi Bisu KengeriannyaUmur kayu yang terpendam di dalam lumpur  diperkirakan antara 350 - 400 tahun. Selain meneliti umur kayu, pihaknya melakukan pengeboran untuk mengambil sampel endapan pasir.

"Sampel pasir kita teliti terdapat plankton. Dilapisan pasir tadi menjadi indikasi ada mekanisme proses membawa plankton ke darat yang diduga karena tsunami,"katanya.

Dugaan tsunami terjadi di masa lalu diperkuat karena jarak antara Rawa Binuangeun dengan bibir pantai sejauh 1,5 kilometer. Selain itu di Tanjung Binuangeun terdapat koral bercabang masih utuh.

"Koral bercabang mestinya tumbuh di dasar laut tapi ini malahan muncul di permukaan. Ini fenomena menarik karena posisi normal mestinya ada di dasar laut,"katanya.

Baca Juga : BMKG Rilis Potensi Cuaca Buruk, Warga di 5 Kecamatan di Kabupaten Lebak Ini Diminta Waspada

Usia koral diperkirakan antara 1600 - 1700 tahun lalu.

"Kami berpikir koral terangkat akibat gempa terjadi belum lama. Kenapa bisa, karena pada lapisan atas terkubur pasir, nah ini menarik, ini diduga karena erupsi (meletusnya gunung Krakatau) dan tsunami,"katanya.

Eko Yulianto mengungkapkan, sebelum gempa Aceh terjadi para ahli memprediksi tidak akan terjadi gempa skla 9 skala richter. 

"Skala itu tidak akan terjadi dan ternyata terjadi di Sumatera. Menampar rasa percaya diri para ahli, bahwa gempa dengan skala 9 lebih bisa terjadi di mana saja, hanya berapa besarnya, berapa lama dan kapan terjadinya tidak dapat diketahui,"katanya.

Baca Juga : BMKG Keluarkan Peringatan Dini Cuaca : Waspada Hujan Lebat Lima Wilayah di Banten Dua Hari ke Depan

Kasus 2004, tsunami Aceh sebelumnya pernah terjadi.

"Kita tidak memiliki catatan sejarah (bencana tsunami). Baru banyak catatan sekira tahun 1600 -an setelah kedatangan orang Eropa,"katanya.

Kejadian gempa dengan 9 skala richter perulangannya sangat panjang. Bisa ratusan tahun dan ribuan tahun.

"Perisitiawa gempa Aceh sekira 550 tahun lalu. Terjadi sekitar tahun 1600 - an," katanya.

Baca Juga : Selat Sunda Masuk Zona Potensi, Waspadai Gempa Setelah Majene, Waduh!Aktifitasnya Meningkat dan Makin Tinggi

Eko Yulianto menuturkan, diketahui waktu perulangan gempa berdasarkan hasil penelitian sampel pasir pasca tsunami Aceh. Pada waktu di Aceh dilakukan pengeboran ada lapisan tanah, ada pasir, ada tanah lagi pasir lagi.

"Artinya yang 2004 bukan yang pertama. Pernah terjadi sebelumnya," katanya.

Eko Yulianto berpendapat, penting ada catatan tertulisnya. Kalau tidak ada catatan sejarah maka yang dilakukan meneliti dalam bumi.

"Kita punya hipotesis, maka di selatan Jawa pernah terjadi.  Maka kita harus mencari catatan lainnya salah satunya catatan bumi," katanya.

Baca Juga : Bayah Diguncang 2.6 SR, Sejam Kemudian Terjadi Gempa Susulan

Pencatatan bumi, selain di Aceh dilakukan di Kabupaten Lebak. Yaitu di Rawa Binuangeun.

"Jika gempa skalanya 9 skala richter, apalagi lebih besar maka akan merusak segala infrastruktur yang ada.  Entah itu punya masyarakat,  entah itu punya publik itu harus kita perhatikan,"katanya.

Gempanya sendiri mengakibatkan infrastruktur itu tidak berfungsi entah bangunan runtuh. Entah itu hilang karena tersapu tsunami.

"Untuk meminimalisir jatuhnya banyak korban maka penting mengedukasi masyarakat agar memiliki kemampuan evakuasi mandiri. Dengan kita coba mengindera pada kekuatan goncangan gempa,"katanya.

"Banyak pihak mengatakan gempa tsunami di atas 6 skala richter. Tapi kan masyarakat awam tidak tahu berapa ukuran skalanya yang tahu guncangan gempa skalanya kuat,"katanya.

Baca Juga : Gempa di Selatan Banten Belum Berhenti, Setelah Bayah dan Sumur, Muarabinuanguen Bergetar

Tapi, diungkapkan Eko Yulianto, pada kasus Banyuwangi, Pangandaran, Mentawai, itu frekwensi gempanya rendah. Termasuk kasus selatan Jawa, di Pangandaran tahun 2006.

Mereka tidak tahu bakal kejadian tsunami karena mereka tak  merasakan gempanya.

"Kalau kita hanya mendasarkan lemah atau kuat goncangan bukan hanya kerasnya guncangan. Tapi dari lamanya guncangan gempa kalau lebih dari 20-30, apalagi sampai 60 detik harus waspada tsunami (berlari kedataran tinggi)," katanya.

Eko menambakan, kapan waktu tsunami berikutnya terjadi tidak dapat diketahui.

"Sangat sulit, bisa diketahui terjadinya tsunami, tapi pernah terjadi tsunami purba atau tsunami masa lalu dan akan terjadi tapi tidak diketahui waktunya. Lalu jarak perulangan satu dengan lainnya tidak sama, ada yang 500 tahun ada yang 900 tahun," kata Eko .***

Editor: Maksuni Husen


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x