Sementara itu, pada Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, tercantum aturan terkait penamaan suatu wilayah dan jalan.
Pada UU yang ditandatangani Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY ini, pada Bab 3, Pasal 36, Ayat (1), menyatakan jika Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografi di Indonesia.
Pada Ayat (3) berbunyi, Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Kemudian pada Ayat (4), Penamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan atau keagamaan.
Ketentuan dalam perundangan tersebut, kemudian diperinci dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi.
Pada Pasal (7) PP yang ditandatangani Presiden Joko Widodo ini, tertulis aturan untuk menghindari penggunaan nama orang yang masih hidup.
Selain itu, dapat menggunakan nama orang yang sudah meninggal dunia paling singkat 5 tahun terhitung sejak yang bersangkutan meninggal dunia.
Kemudian pada Pasal (8) tertulis menghindari nama instansi/lembaga ujarnya menambahkan.
Melihat dari UU Nomor 24 Tahun 2009, penamaan Gwangyang sebagai pengganti pada Bonakarta beradu dengan Bab 3, Pasal 36, Ayat (1).