Menjadi seorang sutradara drama teater di Ende tidaklah mudah, salah satu tantangan terbesar Soekarno adalah para pemerannya sendiri.
Tidak hanya buta huruf, namun warga kampung Ende pun tidak ada yang bisa berbahasan Indonesia.
“Tak ada naskah untuk para pemain, karena itu aku membacakannya untuk masing-masing pemain. Mereka menghafalkannya dengan cara mengucapkan naskah berulang-ulang,” tuturnya.
Soekarno kemudian menyewa sebuah gudang dari gereja dan mengubahnya menjadi gedung pertunjukan.
Selain menjadi pemilik gedung sewaan dan juga seorang sutradara drama teater, Soekarno pun menjadi penjual tiket.
“Aku sendiri yang menjual karcisnya. Setiap pertunjukan berlangsung selama tiga hari dan kami bermain dihadapan 500 penonton. Ini peristiwa sosial besar, bahkan orang-orang Belanda juga membeli karcis,” ucapnya.
Hingga 1938 Soekarno menjalani profesi sutradara sekaligus pengusaha bisnis hiburan drama teater di Flores.
Semua orang menyukai setiap karyanya, bahkan orang-orang Belanda, padahal di setiap karyanya tersisipkan sebuah pesan moral untuk kebangkitan bangsa Indonesia, para penjajah tertipu mentah-mentah.