KABAR BANTEN – Sepertinya masih sedikit orang yang tahu jika presiden pertama Republik Indonesia Soekarno, pernah menjadi seorang sutradara teater di Pulau Flores.
Saat itu, pertunjukan teater bentukan Soekarno laris manis ditonton ratusan masyarakat Flores. Tidak hanya orang Flores, bahkan para tentara Belanda pun ikut antre untuk membeli tiket agar bisa menonton pertunjukan teater Soekarno.
Baca Juga: Cerita Soekarno Sembuhkan Anak Petani Kelapa Hanya Pakai Air Ledeng, Presiden Sakti ?
Ini terjadi ketika Soekarno dibuang oleh Belanda ke Kampung Ende, sebuah kampung nelayan kecil di Pulau Flores pada 1934.
Soekarno dipisahkan dari para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, untuk meredam pemberontakan yang mulai menjalar di seluruh pelosok negeri.
Soekarno tidak dibuang sendirian, ia ditemani istri keduanya yakni Inggit Garnasih dan ibu mertuanya, Amsi.
Awal mula Soekarno menjadi seorang sutradara teater, itu terdorong dari rasa depresi yang dirasakan sang proklamator saat pertama diasingkan.
Dijauhi oleh warga lokal, tak memiliki akses ke luar pulau, bahkan ditinggal meninggal oleh Amsi sang ibu mertua yang ia sayangi.
“Di samping tidak ada kerja, kesepian dan ketiadaan kawan, aku juga mengalami depresi yang hebat sekali. Pada hari-hari pertama itu, Flores adalah tempat penyiksaan. Aku memerlukan suatu pendorong, atau aku akan membunuh diriku sendiri,” kata Soekarno kepada Cindy Adams, wartawan Amerika yang menuliskan buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Baca Juga: Peringati Hari Pahlawan, Danlanal Banten Kenang Perkataan Mendiang Soekarno
Tak ingin mati berdiri, Soekarno memutuskan untuk menulis naskah sandiwara, ini untuk mengisi waktu luangnya yang tanpa batas.
Di Flores sana, Soekarno berhasil membuat 12 naskah sandiwara selama 4 tahun sejak 1934, dimana karya pertamanya berjudul Dr Setan, terinspirasi dari film Frankenstein.
“Karya pertamaku adalah Dr Setan, peran utama adalah seorang tokoh Boris Karloff Indonesia yang menghidupkan mayat dengan transplantasi hati,” ujar Soekarno.
Baca Juga: Diasingkan Belanda Empat Tahun di NTT, Begini Curhatan Soekarno Lewat Surat Kepada Sahabatnya
Selesai membuat Dr Setan, Soekarno ingin agar naskah itu menjadi sebuah cerita drama di atas panggung sandiwara.
Karenanya, dia mendirikan perkumpulan Sandiwara Kelimutu, dimana nama itu ia ambil dari danau tiga warna di Flores.
“Aku mendirikan perkumpulan Sandiwara Kelimutu, aku jadi sutradaranya. Untuk setiap pertunjukan, dilakukan latihan malam hari selama dua minggu,” ujarnya.
Menjadi seorang sutradara drama teater di Ende tidaklah mudah, salah satu tantangan terbesar Soekarno adalah para pemerannya sendiri.
Tidak hanya buta huruf, namun warga kampung Ende pun tidak ada yang bisa berbahasan Indonesia.
“Tak ada naskah untuk para pemain, karena itu aku membacakannya untuk masing-masing pemain. Mereka menghafalkannya dengan cara mengucapkan naskah berulang-ulang,” tuturnya.
Soekarno kemudian menyewa sebuah gudang dari gereja dan mengubahnya menjadi gedung pertunjukan.
Selain menjadi pemilik gedung sewaan dan juga seorang sutradara drama teater, Soekarno pun menjadi penjual tiket.
“Aku sendiri yang menjual karcisnya. Setiap pertunjukan berlangsung selama tiga hari dan kami bermain dihadapan 500 penonton. Ini peristiwa sosial besar, bahkan orang-orang Belanda juga membeli karcis,” ucapnya.
Hingga 1938 Soekarno menjalani profesi sutradara sekaligus pengusaha bisnis hiburan drama teater di Flores.
Semua orang menyukai setiap karyanya, bahkan orang-orang Belanda, padahal di setiap karyanya tersisipkan sebuah pesan moral untuk kebangkitan bangsa Indonesia, para penjajah tertipu mentah-mentah.
“Seperti pada karyaku Dr Setan, cerita ini membawakan suatu pesan moral yang tersembunyi. Bahwa tubuh Indonesia yang sudah tidak bernyawa dapat bangkit dan hidup lagi,” kata Soekarno.***