Partisipasi di Saat Pandemi

- 1 Oktober 2020, 23:18 WIB
/Kabar Banten/

 

Sikap pro kontra masyarakat yang menguat menyikapi pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19, “mereda” ketika Pemerintah, DPR, dan KPU bersepakat melanjutkan tahapan. Kesepakatan itu diambil lewat Rapat Kerja Dengar Pendapat Komisi II DPR bersama Pemerintah, KPU, Bawaslu dan DKPP pada 21 September lalu. Forum tersebut juga meminta KPU melakukan berbagai perubahan peraturannya menyesuaikan dengan upaya pencegahan penyebaran Covid-19.

Meski mereda, tidak berarti diskursus publik yang dikotomis-antagonistik itu akan berhenti. Suara-suara kritis terus bermunculan. Beberapa tokoh publik dari kalangan kampus, ulama, seniman, dan cendikiawan mulai menyampaikan sikap mereka secara terbuka. Azyumardi Azra misalnya, tidak akan menggunakan hak politiknya untuk memilih pada hari pemungutan nanti. Itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas kemanusiaan bagi mereka yang wafat akibat wabah Covid-19. Atau KH. A. Mustofa Bisri, lewat akun twitternya mempertanyakan keyakinan dan kemampuan pemerintah menanggulangi pagebluk, tetapi saat yang sama merestui pilkada tetap digelar.

Dua ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah pun bernada sama. Meminta agar pemerintah mendahulukan kesehatan dan keselamatan warga negara dengan menghentikan sementara tahapan Pilkada. Pemerintah bergeming. Permintaan itu tidak berhasil menginterupsi laju tahapan. Tepat pada 23 September penyelenggara pemilihan melanjutkan kegiatannya dengan menetapkan bakal pasangan calon menjadi pasangan calon di 270 daerah. Sehari kemudian dilanjutkan dengan pengambilan dan penetapan nomor urut. Lalu, dua hari berikutnya, 26 September tahapan kampanye dimulai.

Baca Juga : Paslon Pilkada 2020 Langgar Protokol Kesehatan Covid-19, WH : Pidanakan!

Semua kegiatan tahapan itu tentu harus, telah, dan akan dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan, sebagaimana telah diatur lewat peraturan KPU. Pelaksanaan kampanye misalnya, diatur ulang termasuk meniadakan beberapa jenis kegiatan yang mengundang kerumunan. Rapat umum, kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya dan atau konser musik ditiadakan. Kegiatan olahraga, perlombaan, kegiatan sosial serupa bazar dan atau donor darah, termasuk peringatan ulang tahun partai politik juga dilarang.

Dari pengaturan itu, semua yang terlibat dan berkepentingan langsung dalam pagelaran pilkada konsisten dan bertanggungjawab dengan peran yang dilakukan. Terlebih dalam masa kampanye, satu dari sekian tahapan yang dianggap paling rawan terjadi banyak pelanggaran. Peserta pemilihan wajib patuh pada aturan, mana yang boleh mana yang tidak.

Tantangan Partisipasi

Yang menjadi tantangan dari pelaksanaan pilkada lanjutan ini, sesungguhnya bukan soal kesehatan semata. Bahwa pelibatan langsung masyarakat tidak menambah kluster penularan baru. Tetapi juga bagaimana mencapai persentase partisipasi publik sesuai dengan yang telah ditetapkan. Atau setidak-tidaknya sama dengan persentase pilkada sebelumnya.

“Kegalauan” ini bukan tanpa sebab. Berkaca pada pengalaman pelaksanaan pilkada pada kondisi normal, persentase kehadiran pemilih ke bilik suara selalu di bawah pemilu legislatif atau pemilu presiden. Dalam banyak kasus bahkan tingkat persentase itu bisa menurun tajam ketika penentuan kepala daerah terpilih masih menggunakan sistem dua putaran.

Halaman:

Editor: Maksuni Husen


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x