Pilkada Kota Serang 2018: Pengamat Ini Beberkan Rahasia Kemenangan Syafrudin-Subadri

- 28 Juni 2018, 22:13 WIB
PSX_20180628_221324
PSX_20180628_221324

SERANG, (KB).- Pasangan Syafrudin-Subadri berhasil memenangkan Pilkada Kota Serang 2018. Bagaimana pasangan tersebut bisa memenangkan pesta demokrasi di Ibu Kota Provinsi Banten? Ini tanggapan pengamat komunikasi politik dari Universitas Masthla’ul Anwar Banten, Atih Ardiansyah. Menurut Atih, pilkada kota Serang 2018 merupakan Pilkada paling menarik di Banten karena beberapa hal. Pertama, Kota Serang sebagai Ibu Kota Provinsi Banten. Kedua, heterogenitas kompetitor. “Kita tahu bahwa di daerah lain di Banten, Kabupaten Lebak, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, petahana hanya melawan kotak kosong,” kata Atih. Dikatakannya, pilkada kota Serang merupakan pesta demokrasi yang dewasa. Pilkada berjalan lancar. Ada tiga pasang calon pula yang bertarung. Salah satu kandidat, bahkan maju melalui jalur independen. “Ini tentu merupakan sebuah kemajuan. Untuk hal ini, kita mesti menyampaikan apresiasi kepada publik Kota Serang,” ucapnya. Pilkada kota Serang, tambah dia, menyajikan kejutan. Kejutannya berupa kekalahan pasangan calon nomor urut 1 yang didukung oleh koalisi 8 Parpol, yakni Golkar, Gerindra, PDIP, PKB, Demokrat, PKPI, PBB, dan Partai Nasdem. Kekalahan Vera-Nurhasan dengan visi "Menuju Kota Serang Cantik", ujar dia, bisa ditilik dari teori groupthink dari Janis, yang bisa dilihat dalam bukunya "Victims of Groupthink: A Psychological Study of Foreign Decisions and Fiascoes" (1972). Groupthink adalah suatu mode berpikir sekelompok orang yang kohesif. Suatu kelompok merasa imun sehingga menyisihkan motivasi mereka dalam melakukan analisis secara mendalam mengenai kekuatan kelompok lain. “Karena imunitas terhadap potensi kekuatan kelompok lain, aksi-aksi politiknya kurang gereget,” ujarnya. Dikemukakan, kemerosotan efisiensi mental, pengujian realitas, dan penilaian moral yang kurang optimal tersebut terjadi karena terlalu banyaknya tekanan-tekanan di dalam kelompok. “Saya menduga bahwa koalisi yang gemuk itulah yang membikin Paslon 1 kalah,” katanya. Karena terlampau asyik dengan aneka tuntutan internal, kata dia, koalisi Paslon 1 seolah lupa bahwa dalam kontestasi Pilkada menuntut hal paling pokok, yakni ketokohan atau figuritas kandidat. Menurut dia, publik tidak berhasil menemukan figur yang kuat pada diri Vera Nurlaila. Vera adalah istri Haerul Jaman, Wali Kota Serang dua periode. “Sebatas itu. Tidak ada kekuatan atau pesona individu yang dipancarkan sosok Vera,” kata dia. Vera, kata dia, praktis tidak bisa menjual program unggulan Jaman. Vera menjadi terpisah dari kutub Jaman, dan dia menjadi kutub sendiri yang apabila dibandingkan dengan kandidat lain, secara kapasitas intelektual maupun pengalaman di bidang politik, masih berada di bawah. Karena hal-hal tersebut, katanya, yang justru kental pada Paslon 1 adalah sekadar pelanggengan kekuasaan politik dinasti. Untungnya, sentimen dinasti politik ini tidak secara optimal dieksploitasi oleh paslon 2 dan 3. Tentang Nurhasan, pasangan Vera, Atih menyebutnya sebagai sosok yang kurang dikenal masyarakat. “Tidak ada yang mengenal sosok ini. Nurhasan sama sekali tidak memiliki nilai jual. Jadi, kehadiran Nurhasan sebagai calon wakil Vera, tidak menolong kelemahan-kelemahan yang dimiliki Vera,” katanya. Koalisi parpol yang gemuk itu, menurut dia, tidak mampu memoles dan menjual Vera-Nurhasan. Koalisi cuma fokus pada jargon "Cantik" yang publik tak menemukan korelasinya dengan kondisi Kota Serang yang dipimpin Jaman selama 2 periode. “Visi ‘Cantik’ pasangan ini cuma berpusar pada sosok Vera yang diasosiasikan sebagai cantik,” katanya. Menurut Atih, kesemrawutan Kota Serang hasil kerja 2 periode Jaman, ditunjukkan oleh alam pada H-1 pencoblosan. Yakni, banjir di beberapa titik di Kota Serang. “Situasi ini makin menenggelamkan kata ‘cantik’ yang dibawa oleh Vera,” pungkasnya. (KO)*

Editor: Kabar Banten


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah