Pilkades Berubah-ubah, Begini Sejarahnya dari Masa ke Masa

- 7 Agustus 2021, 17:56 WIB
Ilustrasi Pilkades, yang mengalami perkembangan dalam sejarahnya yang panjang dari jaman ke jaman di Indonesia.
Ilustrasi Pilkades, yang mengalami perkembangan dalam sejarahnya yang panjang dari jaman ke jaman di Indonesia. /Pikiran-Rakyat.com/

KABAR BANTEN - Pemilihan Kepala Desa atau Pilkades merupakan salah satu aspek penting dalam pemerintahan desa, karena dari prsoes inlah terpilih seorang kepala desa (kades) yang sangat menentukan dalam pelaksanaan pembangunan sebuah desa nantinya.

Dalam sejarahnya, Pilkades dari jaman ke jaman menunjukan bahwa asal-usul terbentuknya kepemimpinan desa di Indonesia sangat beraneka ragam dan dilatar belakangi perbedaan masing-masing daerah.

Dikutip kabarbanten.pikiran-rakyat dari ristekdikti.go.id, berikut pilkades dalam perjalanan sejarahnya dari jaman ke jaman di Indonesia:

 Baca Juga: PPKM Diperpanjang, Pilkades Serentak 2021 Kabupaten Serang Terancam Diundur Lagi

1. Pilkades di Jaman Kerajaan

Jika dicermati, dapat digolongkan menjadi dua tipe yang menjadi dasar terbentuknya desa. Tipe pertama terbentuknya desa yang didasarkan pada ikatan darah (genealogis), pada umumnya banyak terjadi di luar Jawa.

Komunitas desa yang terbentuk secara ini berasal dari sekelompok orang yang masih mempunyai ikatan keluarga (darah) yang bermukin secara menetap disuatu wilayah.

Desa-desa di Jawa, juga ada yang merupakan bagian dari wilayah kerajaan (Mancanegara), tetapi masih dapat memainkan peran secara otonom dibandingkan dengan desa-desa di luar Jawa.

Dengan kata lain desa di Jawa terbentuk sebagai bagian dari proses politik kerajaan. Dimana kedudukan raja sebagai pemilik tanah seluruh kerajaan (Sistem Feodal).

Dalam mengelola tanah raja memerlukan beberapa orang pembantu sebagai kepanjangan tangan untuk mengelola wilayah kekuasaannya. Kepada para pembantu raja memberikan imbalan sebagai balas jasa yang berupa tanah lungguh (apanage).

Pengelolaan tanah lungguh sebagai gaji para pembantu raja diserahkan kepada ‘Bekel’ sebagai kepala desa atau kades. Sebab, para pembantu raja tidak memungkinkan untuk mengerjakan karena bertempat tinggal di Ibukota Kerajaan.

Maka, untuk keperluan pengelolaan tanah diserahkan kepada seorang bekel sebagai penarik pajak diwilayahnya. Disamping itu, seorang bekel juga berperan mengawasi keamanan dan menyediakan tenaga kerja untuk kepentingan kerajaan.

Dengan demikian, posisi seorang bekel dalam masyarakat memiliki otoritas untuk mengatur masyarakat termasuk menarik pajak, memonopoli kekuasaan, menguasai tanah dan menyediakan tenaga kerja untuk keperluan kerajaan di wilayahnya.

 

2. Pilkades di Jaman Kolonial

Desa di masa kolonial mengalami perubahan, khususnya peran ‘bekel’ sebagai kades yang semula bertugas dalam bidang ekonomi, bergeser kepada bidang politik.

Kondisi itu sesuai dengan politik kolonial dalam rangka mendukung politik eksploitasi, dibutuhkan kepemimpinan desa untuk dijadikan sebagai alat untuk memudahkan mendapatkan bahan rempah-rempah yang menjadi komoditi pasar di Eropa.

Dengan dibentuknya desa, memunculkan figur baru di masyarakat desa yakni seorang kades atau Lurah Desa. Sebetulnya, ‘bekel’ dan kades memiliki kewenangan yang sama, hanya sedikit perbedaannya.

Diantara perbedaan itu adalah, kades dibebani tugas pada urusan administrasi pemerintahan, sementara bekel tidak di bebani tugas-tugas tersebut. Seorang kades diangkat dan diberhentikan oleh bupati dengan persetujuan Asisten Residen dan Patih.

Pada umumnya, orang yang menjabat kades adalah seorang ‘bekel senior’ yang dipilih berdasarkan senioritas dan sebagai warga desa asli. Para kades dibantu oleh para punggawa desa, yang terdiri dari Carik, Modin, Kebayan, dan Kamituwa.

Para punggawa ini merupakan bawahan Kepala Desa yang wajib mengikuti perintah dari kepala desa. Sedangkan pengangkatannya, dilakukan oleh Bupati atas persetujuan dari kades.

 

3. Pilkades di Jaman Kemerdekaan (Tahun 1945 - 1979)

Pada awal kemerdekaan, muncul kegairahan berpolitik di satu sisi dan meningkatnya kebutuhan akan pembenahan kehidupan rakyat di sisi lain.

Disamping itu, kekuatan asing ingin tetap bercokol. Dengan kondisi proses jalannya peralihan kekuasaan dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan tidak berjalan mulus.

Sementara, upaya untuk menjalankan demokratisasi sebagai konsekuensi dari realisasi kemerdekaan mengalami banyak hambatan.

Kondisi inilah yang merupakan suatu kenyataan bahwa proses politik di tingkat pusat, sehingga pada gilirannya akan mempengaruhi format poitik yang dikembangkan ditingkat daerah maupun desa.

Meski demikian, pemerintah Indonesia berupaya mengeluarkan suatu kebijakan tentang pemerintahan daerah yang diharapkan dapat mengganti peraturan-peraturan kolonial.

Untuk itu, pada tahun 1948 pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 yang berisi tentang pembagian daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri.

Dalam peraturan tersebut dicantumkan tentang desa yang merupakan daerah otonom tingkat tiga yang harus diatur dengan undangundang. Tetapi karena menghadapi berbagai kesulitan, desa otonom yang diatur dalan UU No. 22 tahun 1948 tidak pernah dibentuk.

Pada masa awal Kemerdekaan sampai dengan 1 Desember 1979, pemerintahan Desa di Indonesia diatur oleh Undang-Undang yang dibuat oleh penjajahan Belanda (berupa RR, IGO).

Namun karena masih menggunakan undang-undang pemerintahan jajahan Belanda, maka dalam mekanisme atau tata cara pilkades sama seperti pemilihan Kepala Desa yang dilakukan pada jaman Kolonial.

Peraturan itu menggunakan dasar undang-undang Regering Reglement (RR) tahun 1854 pasal 128, yang menyatakan wewenang warga masyarakat desa untuk memilih sendiri kades yang dikehendaki sesuai dengan adat-istidat setempat.

 

4. Pilkades di Jaman Orde Baru (Tahun 1979-1999)

Pada masa Orde baru sistem pemerintahan desa diatur dalam Undangundang Nomor 5 tahun 1979 yang merupakan pengganti dari undang undang IGO dan IGOB yang pernah dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda.

Dengan diberlakukan Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 telah terjadi perubahan, dan dibedakan pengertian desa dan kelurahan. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa desa mempunyai hak untuk menyelenggarakan rumah tangga sendiri.

Sedangkan kelurahan tidak mempunyai hak untuk menyelenggarakan rumah tangga sendiri, karena perangkat kelurahan adalah pegawai negeri (Pemda).

Kades dipilih secara langsung oleh warga masyarakat setempat, sementara Kepala Kelurahan tidak melalui proses pemilihan tetapi langsung diangkat oleh Bupati atau Walikota atas nama Gubernur.

Kemudian masa jabatan Kepala Desa dibatasi hanya delapan tahun, sedangkan masa jabatan Kepala Kelurahan tidak ada batasan masa jabatan.

Namun ternyata, pilkades masih dipengaruhi oleh faktor-faktor genealogis dan kultural yang merupakan kendala bagi kemapanan dan keyakinan idealisme sebagai syarat utama dalam proses demokrasi.

Sebab dalam prakteknya, demokrasi itu dihadapkan pada kesulitan sosiologis, ekonomi dan kultural, sehingga pilkades dapat dikatakan sebagai suatu kehidupan demokrasi yang masih semu.

Kesimpulannya, pada masa UU No. 5 tahun 1979 pemerintahan desa diperlakukan sama seperti pada masa lampau khususnya desa-desa di Jawa. Desa hanya sebagai kepanjangan supra desa dalam mewujudkan kepentingan-kepentingan supra desa.

 

5. Pilkades Era Reformasi

Pada masa Reformasi terjadi perubahan yang cukup mendasar, yaitu mengubah skema sentralisasi menjadi desentralisasi yang tampak jelas dengan diberlakukannya Undang undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.

Di dalamnya, tertuang pada pasal 93 sampai dengan 111 mengenai pemerintahan desa. Berdasarkan undang-undang, terjadi perubahan dalam hal pengertian desa yaitu sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa.

Diantaranya seperti yang tertuang pada pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai landasan pemikiran pengaturan pemerintahan desa adalah keanekagaraman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.

Perubahan lain yang dapat dilihat adalah dalam penyelenggaraan pemerintahan, desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat.

Kepala Desa bertanggung jawab pada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada Bupati (Pasal 102 UU No. 22 Tahun 1999). Hal tersebut dapat mencerminkan suatu skema pemerintahan desa yang otonom.

Baca Juga: Tak Netral di Pilkades Serentak 2021 Kabupaten Serang, ASN akan Disanksi, Satu Orang Sudah Dipanggil

Karena ada pembagian yang jelas yaitu Pemerintah Desa yang terdiri dari kades dan perangkat desa, dengan Badan Perwakilan Desa atau Parlemen Desa, sehinga terdapat suatu pemisahan fungsi eksekutif dan legislatif.***

Editor: Yadi Jayasantika

Sumber: ristekdikti.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah