Sebelum Indonesia Merdeka, Banyak Orang Banten Kibarkan Bendera Pemberontakan Terhadap Pemerintah Belanda

- 26 Agustus 2021, 16:07 WIB
Lukisan yang menggambarkan sosok Nyimas Gamparan saat mengibarkan bendera pemberontakan terhadap Belanda sebelum Indonesia Merdeka terpampang di dinding Museum Multatuli, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Kamis, 26 Agustus 2021.
Lukisan yang menggambarkan sosok Nyimas Gamparan saat mengibarkan bendera pemberontakan terhadap Belanda sebelum Indonesia Merdeka terpampang di dinding Museum Multatuli, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Kamis, 26 Agustus 2021. /Kabar Banten/Purnama Irawan

KABAR BANTEN - Jauh sebelum Indonesia Merdeka, banyak orang Banten kibarkan bendera pemberontakan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda.

Bendera pemberontakan gencar dikibarkan orang Banten terhadap Pemerintah Belanda pada Abad 18 dan 19 Masehi.

Berdasarkan catatan sejarah di Museum Multatuli, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, orang Banten kibarkan bendera pemberontakan terhadap Pemerintah Belanda diantaranya, Pemberontakan Haji Wakhia, pada tahun 1854.

"Haji Wakhia seorang kaya dari Gudang Batu, Serang yang kerap
melawan pemerintah Kolonial," kata Kepala Museum Multatuli, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Ubaidillah Muchtar kepada Kabar Banten, Kamis, 26 Agustus 2021.

Baca Juga: Sinopsis Film Epik Sejarah Indonesia Soegija, Curahan Renungan Kemanusiaan dari Pahlawan Nasional

Haji Wakhia, pulang berhaji pada 1847. Dia kembali melancarkan perlawanan terhadap pemerintah Kolonial.

"Pertempuran pamungkas terjadi pada 3 Mei 1854, Haji Wakhia
dan Tubagus Iskak berhasil lolos dari penangkapan. Pada 1856 Haji Wakhia ditangkap dan dihukum mati," katanya.

Selanjutnya, bendera pemberontakan dikibarkan oleh Nyimas Gamparan.

"la memimpin 30 milisi perempuan melawan Belanda sejak 1829 hingga era 1830-an," kata Kepala Museum Multatuli.

Baca Juga: Belajar Sejarah Banten, 3 Museum di Kota Serang Ini Wajib Dikunjungi

Nyimas Gamparan menolak sistem Tanam Paksa. Selanjutnya la menggelorakan perang melawan pemerintah kolonial Belanda di Jasinga, Cikande dan Balaraja.

"Perlawanannya berhasil dipadamkan oleh Demang Jasinga Raden Tumenggung Karta Natanegara. Jenazah Nyimas Gamparan dimakamkan di Tanjungsari, Pabuaran, Kabupaten Serang," katanya.

Kemudian pada tahun 1888, bendera pemberontakan dikibarkan Petani Banten.

"Pemberontakan petani di Cilegon, Banten dipimpin Haji Wasid," katanya.

Baca Juga: Sejarah Kota Serang, Ada Sentuhan Sultan Banten dan Belanda, dari Area Persawahan hingga Kawasan Perkotaan

Perlawanan terhadap pemerintah kolonial itu didorong oleh kondisi rakyat yang semakin sulit karena tingginya beban pajak, kelaparan akibat gagal panen imbas dari meletusnya Gunung Krakatau 1883.

Serta keinginan untuk mendirikan kembali Kesultanan Banten yang telah dihancurkan oleh kompeni.

"Pemberontakan dimulai 9 Juli 1888 dan berakhir 30 Juli 1888," katanya.

Korban tewas di pihak pemerintah kolonial 17 orang dan luka-luka 7 orang. Di pihak pejuang Banten 30 orang tewas, 11 di antaranya dihukum gantung.

"94 lainnya dibuang ke berbagai daerah di Hindia Belanda," kata kepala Museum Multatuli.

Baca Juga: 5 Mitos Masyarakat Banten, Catatan Peristiwa di Masa Lampau, Inilah Sisi Lain dari Sejarah yang Berkembang

Pada tahun 1908, berdirinya Boedi Oetomo. Boedi Oetomo adalah organisasi modern pertama cikal bakal lahirnya gerakan perlawanan intelektual di Hindia Belanda.

"Pemantiknya adalah Wahidin Soedirohoesodo, seorang dokter Jawa. la menganjurkan pentingnya memajukan pendidikan bagi orang Jawa dengan berkeliling ceramah ke beberapa daerah termasuk ke Serang, Banten," katanya.

Pada 20 Mei 1908, gagasan tersebut diwujudkan oleh Soetomo.

"Boedi Oetomo melahirkan beberapa tokoh penting dalam gerakan pembebasan nasional Indonesia, salah satunya dr. Tjipto Mangoenkoesoemo," katanya.

Baca Juga: Sejarah Keraton Surosowan Banten, Berdiri Sejak Abad 17, Dibangun di Era Sultan Maulana Hasanudin

Pada 25 Desember 1912, berdiri Indiche Partij, adalah partai politik pertama di Hindia Belanda yang didirikan pada 25 Desember 1912 oleh Tiga Serangkai. Yaitu Ernest Douwes Dekker alias Setiabudi, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat.

"Keanggotaan Indische Partij terbuka untuk semua golongan bangsa tanpa membedakan ras dan kelas sosial," kata Kepala Museum Multatuli.

Selanjutnya, pada 1913, para pemimpin Indische Partij diusir dari Hindia Belanda
oleh pemerintah kolonial karena dianggap menghina pemerintah Kolonial yang akan merayakan seabad kemerdekaan Belanda dari Perancis.

Soewardi Soerjaningrat menulis sebuah artikel dalam harian De Express berjudul Als Ik Eens Nederlander Was ("Seandainya aku seorang Belanda") yang menyinggung perayaan tersebut.

"Pada 13 Maret 1913 Indische Partij dinyatakan sebagai organisasi terlarang," katanya.

Baca Juga: 3 Pahlawan Nasional asal Banten, Ini Sekilas Perjuangannya dalam Kemerdekaan Indonesia

Bendera pemberontakan orang Banten dikibarkan pada, peristiwa pemberontakan 1926. Pada 12 November 1926 pecah pemberontakan komunis melawan pemerintah kolonial Belanda.

Peristiwa tersebut terjadi secara sporadis di beberapa kota di Jawa dan Sumatera.

"Banten merupakan salah satu pusat utama pemberontakan. Dari 13.000 pelaku perlawanan yang ditangkap pasca peristiwa 1926, sebanyak 1.300 orang diantaranya berasal dari Banten," katanya.

Pada peristiwa inilah pemerintah Kolonial memutuskan membuang seluruh pelaku ke Boven Digul, di pedalaman Papua yang terkenal karena wabah malaria hitam yang mematikan.

"Pada masa pemerintahan Soekarno, seluruh tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut dinyatakan sebagai perintis kemerdekaan melalui Peraturan Presiden No. 15/1961," katanya.

Baca Juga: Maulana Hasanuddin, Raja Pertama Banten, Dinobatkan tahun 1525, Disebut Pangeran Saba Kingkin

Selanjutnya, Kepala Museum Multatuli mengungkapkan, sejarah kedatangan Jepang dan Runtuhnya Hindia Belanda.

"Invasi Jepang ke Hindia Belanda membuat jatuhnya kekuasaan kolonial," katanya.

Bala tentara Jepang masuk ke Jawa melalui pesisir utara Banten, 1 Maret 1942. Pada 5 Maret 1942, pemerintah kolonial di bawah Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, menyerah kepada Jepang.

"Minggu senja, 8 Maret 1942 di Kalijati, Subang, Jepang menerima penyerahan kekuasaan dari pemerintah Hindia Belanda, menandai berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia," kata Kepala Museum Multatuli Ubaidillah Muchtar.***

Editor: Kasiridho


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah