Selain kondisi tersebut kesewenang-wenangan para pejabat pemerintah kolonial membuat rakyat semakin menderita.
Saat itu para pejabat VOC melakukan serentetan penghinaan terhadap aktivitas keagamaan Islam.
Para pejabat pemerintah kolonial di Cilegon kala itu mengeluarkan surat edaran kepada bawahannya untuk melarang pembacaan shalawat Nabi dan doa-doa lainnya dengan suara keras di masjid.
Pemerintah Kolonial Belanda juga mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit.
Paling parah, pemerintah kolonial juga menghancurkan menara Masjid Agung Cilegon dengan alasan telah terlalu tua.
Hal-hal yang dianggap sebagai penghinaan ini dijawab oleh rakyat banyak dalam bentuk pemberontakan yang bertujuan lebih luas lagi, yaitu mengenyahkan kekuasaan Belanda dari daerah itu.
Pemberontakan tersebut secara resmi disebut sebagai Pemberontakan Petani Banten 1888, namun perisitiwa tersebut lebih dikenal dengan Geger Cilegon 1888.***