Sebab, dia menyadari jika rumah yang ditempatinya tersebut berdiri di atas tanah milik pemerintah, sehingga warga tidak dapat berbuat banyak untuk mempertahankan tempat tinggalnya.
"Ya, mau bagaimana lagi, karena ini juga kan tanahnya punya pemerintah. Jadi wajar saja (Digusur), karena saya juga kan menumpang dan siap-siap saja kalau digusur, saya harus keluar. Barang-barang juga sudah diangkut," ujarnya.
Dalam penggusuran tersebut, kata dia, pihak terkait memberikan kompensasi sebesar Rp2.500.000 sebagai penggantian ala kadarnya.
Meski jumlahnya sepuluh kali lipat dari pembangunan rumah yang dilakukan olehnya.
"Dikasih Rp2,5 juta, dan sudah dibayarkan. Saya baru membangun rumah ini satu tahun, dan habis Rp25 juta, jadi tekor banyak. Tapi mau bagaimana lagi," tuturnya.
Jauh sebelum adanya penggusuran, dikatakan dia, informasi tersebut sebenarnya sudah lama tersebar, namun karena keterbatasan biaya untuk membeli tanah dan rumah, Rudi pun terpaksa menempati lahan pemerintah sebagai tempat tinggal sementara.
"Sambil ngumpulin uang buat beli tanah resmi. Memang informasi gusuran ini sudah lama, dan sebelum digusur juga ada musyawarah dulu," ucapnya.
Rudi yang kesehariannya sebagai buruh panglong kayu tersebut mengaku bingung untuk mencari tempat tinggal.
Sehingga, sementara ini dirinya beserta istri dan kedua anaknya menumpang di rumah orang tuanya di Karang Serang, Kecamatan Kasemen.
"Saya kira digusur ini pemerintah sudah menyiapkan tempat buat kami, ternyata tidak ada," ujarnya.