Sejarah Pangkalan Udara Gorda Peninggalan Jepang di Cikande Serang Banten, Banyak Cucuran Darah dan Air Mata

- 17 April 2024, 16:00 WIB
Tugu Pyramid di Lanud Gorda Kecamatan Binuang, Kabupaten Serang Banten/tangkapan layar youtube/channel egi boma
Tugu Pyramid di Lanud Gorda Kecamatan Binuang, Kabupaten Serang Banten/tangkapan layar youtube/channel egi boma /


KABAR BANTEN – Pangkalan Udara Gorda terletak sekitar 30 km di sebelah timur Kota Serang, Provinsi Banten, memiliki rangkaian sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia.

Ratusan bahkan ribuan pekerja yang didatangkan dari bebagai daerah di Nusantara pada waktu itu, menemui ajalnya di sana.

Mereka dijadikan pekerja paksa yang dikenal pada waktu itu dengan sebutan Romusa, bekerja tiada henti dengan cucuran darah dan air mata.

Dai Nippon atau Pemerintah Jepang bermaksud untuk membangun lapangan terbang di tengah sawah dan selesai dalam waktu yang singkat, yaitu sekitar satu tahun.

Baca Juga: Sejarah Masjid Kuno Abuya Armin Sekong Pandeglang Banten, Beraksitektur Timur Tengah yang Eksis Hingga Kini

Seperti dikutip Kabar Banten dari kanal Youtube Mang Dhepi Channel, berikut sejarah Pangkalan Udara Gorda yang menjadi saksi bisu kekejaman Jepang di Indonesia yang terkenal dengan Romusha alias kerja paksa.

Pangkalan ini memiliki luas keseluruhan sekitar 712 hektar, menempati areal yang termasuk wilayah Kelurahan Warakas, Gembor, dan Cakung, Kecamatan Carenang, sedangkan areal lainnya masuk wilayah Kelurahan Julang Kecamatan Cikande, Kabupaten Serang, Provinsi Banten.

Sebagian areal lainnya saat ini telah dimanfaatkan masyarakat untuk pesawahan. Bagian lainnya telah berubah bentuk menjadi sabana, hutan perdu, rawa-rawa, perkampungan serta perkuburan.

Di kawasan ini banyak peninggalan bernilai tinggi dan memiliki historis yang cukup memberikan arti yang mendalam terhadap perkembangan zaman, namun banyak yang kurang terawat.

Pemerintah ataupun masyarakat sekitar harus menjaga benda cagar budaya ini. Sangat disayangkan bangunan yang terlihat sangat kokoh dan berciri khas tinggi, tidak dilestarikan sebagaimana manfaat dan arti benda cagar budaya.

Bangunan yang memiliki konstruksi tata ruang dan fungsi bangunan, serta struktur salah satunya adalah lapangan terbang Gorda.

Ketika itu, lapangan terbang Gorda difungsikan sebagai lapangan terbang militer yang hanya digunakan secara insidentil dan tidak banyak orang yang tahu.

Bahkan penduduk Banten sendiri pun banyak yang tidak mengetahui fungsi dan latar belakang sejarah dibangunnya lapangan terbang tersebut.

Padahal lapangan terbang tersebut memiliki nilai sejarah dan salah satu peninggalan Jepang pada Perang Dunia II di Wilayah Banten.

Sekarang Lapangan Udara Gorda ini dikelola oleh AURI dan seorang perwira yang ditunjuk oleh AURI sebagai komandan pangkalan udara.

Letak Lapangan Udara Gorda berada di daerah Cirenang sekitar 6 km dari Jalan Tol Jakarta Merak.

Akan tetapi sulit untuk menuju rute ke sana karena sarana dan prasarana jalan menuju ke sana sangatlah buruk, apalagi jika musim penghujan jalan menuju ke sana becek dan licin.

Pangkalan Gorda yang terletak di sekitar 30 km di sebelah timur Kota Serang Banten, sebenarnya memiliki rangkaian sejarah dalam perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia.

Bahkan menurut saksi mata pada waktu itu, ribuan rakyat menjadi korban atas kekejaman serdadu Jepang.

Akan tetapi sampai saat ini kita tidak akan menemukan batu nisan pekuburan satu pun di sana.

Pada saat itu kondisi pekerja paksa yang meninggal sangatlah biadab dan kejam.

Mereka dikuburkan dalam satu lubang yang sama sekitar 4-5 mayat. Dalam prosesnya setiap hari puluhan mayat dikuburkan di sana, karena ada saja yang mati pada saat itu.

Para pekerja Romusha melakukan pekerjaan tak henti-henti, sehingga penampilannya bagaikan gelandangan, karena pakaian yang mereka pakai compang camping dan banyak yang menggunakan bahan pakaian dari karung serta tidak sedikit yang tidak berpakaian atau bertelanjang dada.

Mereka diberikan jatah beras sehari 200 gr per orang dengan lauk pauk seadanya, tetapi pekerjaan nonstop dari pagi hari hingga sore hari.

Dan jika salah satu dari mereka melakukan kesalahan mereka dipukul dan dipecut seperti binatang.

Cerita dari salah satu orang tua yang kini menetap di Desa Lamaran, Cirenang ini merupakan salah seorang yang menjadi pekerja paksa yang saat itu masih hidup dan tinggal di sekitar Lapangan Udara Gorda.

Ada kurang lebih sekitar 25 orang dengan rata-rata usia sudah mencapai 70-an tahun.

Dan setelah Indonesia merdeka, mereka hidup sebagai petani, namun sekarang tidak lagi karena sudah tidak kuat lagi bekerja.

Jasa mereka sudah dilupakan, padahal merekalah yang membangun pangkalan-pangkalan militer yang ada di Wilayah Banten.

Lapangan Udara Gorda menurut catatan, memiliki luas kurang lebih sekitar 742 hektar tetapi sebagian besar lahan yang luas itu digarap penduduk setempat untuk persawahan tadah hujan.

Hasil garapan tersebut diberikan kepada pihak AURI sebanyak 10% dari hasil panen. Lahan itu ditanami padi, palawija dan sebagainya sesuai dengan izin yang diberikan oleh pihak AURI.

Menurut peta lokasi Lapangan Udara Gorda berada di Desa Gembor, Warakas, Lamaran Binuang dan Cakung Kecamatan Carenang.

Sedangkan Desa Gembor Udik dan Julang masuk dalam wilayah Kecamatan Cikande.

Pangkalan Udara Gorda dibangun pada masa invasi Jepang tahun 1942, terdiri dari dua landasan masing-masing panjangnya 2,5 KM dengan bentuk saling bersilang membujur arah utara selatan dan Barat Timur.

Lebar landasan 100 m dan ruas kanan kirinya juga memiliki lebar 100 m, struktur landasan tersebut sudah diperkeras dengan batu dilapisi dengan lempengan tanah berumput.

Sebagai penyamaran pangkalan udara ini oleh tentara Jepang memang diperuntukkan sebagai pangkalan udara rahasia.

Semua landasan ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjang seperti perkantoran, hanggar, rumah sakit, pos penjagaan, gudang bahan bakar, gudang peluru dan senjata, serta Kompleks Perumahan bagi tentara Jepang.

Pada waktu Jepang dikalahkan tentara Sekutu, para penerbang Angkatan Udara bergabung dengan pejuang Banten memanfaatkan momentum kejatuhan Jepang untuk segera merebut Lanud Gorda dari tentara Jepang.

Tokoh pejuang Banten yang ikut andil dalam peristiwa ini antara lain Mas Haji, Ahmad Khatib, Syamun Bakri, KH Abdullah dan Mayor Syafei.

Dalam peristiwa perebutan pangkalan udara ini, banyak fasilitas bangunan penunjang yang dihancurkan.

Menurut catatan sejarah TNI Angkatan Udara pada tanggal 27 Agustus 1946 Pangkalan Udara Gorda pernah didarati oleh satu tim penerbang AURI dalam rangka operasi penerbangan cross country, dengan rute penerbangan dari Pangkalan Udara Maguo atau Yogyakarta menuju Pangkalan Udara Beranti  Tanjung Karang.

Dalam perjalanannya pesawat-pesawat tersebut melakukan transit di Pangkalan Udara Citereup Tasikmalaya dan Pangkalan Udara Gorda Serang.

Pesawat-pesawat yang diterbangkan tersebut adalah hasil rampasan perang pesawat Jepang, tim terbang cross country tersebut terdiri dari enam pesawat yaitu cureng 1 dan 2, chukiu 1 dan 2 dan nishioreng 1 dan 2 yang diterbangkan oleh pilot Adi Sucipto, Is Wahyudi, dan sebagianya.

Para awak penumpangnya antara lain Kepala Staf Angkatan Udara, Komodor Udara Suryadi Suryadarma dan Muhammad Yakub yang bertugas sebagai teknisi.

Akan tetapi sehari setelah penerbangan pada tanggal 28 Agustus 1946 pesawat Cureng 1 mengalami kerusakan mesin dan harus transit di Lanud Gorda. Sehingga hanya ada 5 pesawat terbang yang melanjutkan perjalanannya ke Beranti.

Selanjutnya pada tanggal 12 Desember 1946 tim penerbang tersebut pulang kembali menuju base camp mereka di Lanud Maguo.

Dan dalam perjalanan kembali pesawat Chuko 1 pun mengalami kerusakan mesin dan transit di Lanud Gorda bersama pesawat Cureng 1 yang telah lebih dahulu mengalami kerusakan mesin sebelumnya.

Tersisa tiga pesawat yang meneruskan penerbangannya kembali ke Maguo.

Pada tahun 1947 sampai 1948 Belanda menduduki Pangkalan Udara Gorda sampai tahun 1949, namun pihak Belanda kurang memelihara pangkalan ini dan sama sekali tidak memperbaiki bangunan penunjang yang ada.

Di masa kolonial Belanda Tanah ini dikuasai oleh perusahaan Perkebunan Karet Milit Under Ning di bawah pimpinan Tuan Er foreign.

Seiring dengan perkembangan organisasi, Pangkalan Udara Gorda yang semula merupakan insub pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdana Kusuma.


Kemudian Berdasarkan Keputusan KASAU nomor kep/22/11/ 1998 tanggal 25 November 1998 tentang Penyempurnaan Status, Kriteria, Klasifikasi Pangkalan TNI Angkatan Udara serta Penentuan Detasemen dan Pos TNI Angkatan Udara, maka Pangkalan Udara Gorda statusnya berubah menjadi Detasemen Gorda berada dalam jajaran KOPSAU 1.

Baca Juga: Sejarah Dahsyatnya Letusan Gunung Krakatau, Semburan Debunya Sampai Ke Eropa


Itulah sejarah Lapangan Udara Gorda yang menyimpan kisah kelam dan sangat menyedihkan dalam kerja paksa Romusha di jaman penjajahan Jepang.***

 

Editor: Maksuni Husen

Sumber: YouTube Mang Dhepi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah