Minimnya Regenerasi Perajin Golok Ciomas

- 10 Mei 2018, 06:00 WIB
3---kaki
3---kaki

GOLOK merupakan senjata tajam yang digunakan pejuang tempo dulu dalam melawan penjajah. Di Banten, golok tentu bukan hal yang asing bagi masyarakat Banten. Sebut saja golok Ciomas yang namanya sangat melegenda. Saat ini, fungsi golok sudah tidak lagi digunakan sebagai alat perjuangan melawan kolonialis, tetapi lebih luas lagi banyak digunakan individu atau keluarga untuk berbagai keperluan dan tidak sesakral dulu. Namun, berbeda dengan golok Ciomas. Meskipun bentuk dan manfaatnya sama dengan golok pada umumnya. Golok Ciomas masih dianggap sakral oleh pemiliknya dan masyarakat luas. Hal tersebut tidak terlepas dari proses pembuatan yang tidak sembarangan dan harus memenuhi syarat-syarat khusus dan ritual yang harus dipenuhi. Itulah yang menjadikan golok Ciomas menjadi khas dan istimewa. "Dibuatnya (golok Ciomas) pada bulan Maulud dan bahannya bukan bahan golok biasa," kata penulis buku 'Golok Ciomas Hikayat dan Keistimewaannya', Oman Solihin, pada bedah buku di Halaman Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Banten, Pakupatan, Kota Serang, Senin (7/5/2018). Syarat lain pembuatan golok Ciomas, yaitu tidak bisa dibuat hanya dengan satu sumber besi. Tetapi, dari berbagai inti besi yang dicampurkan. Bahkan, dalam pengambilan air saat pembuataanya juga hanya boleh pada malam hari, yaitu saat air dalam kondisi tidur atau tenang dan disertai dengan ritual dan doa-doa. "Lalu, syarat lainnya ada palu yang diberikan Sultan Hasanudin kepada ksatria di Ciomas namanya palu Sidenok," tuturnya. Namun, menurut ASN di Disporapar Kota Serang tersebut, terlepas dari semua hal yang bersifat tidak ilmiah, popularitas golok Ciomas terus meningkat, bahkan dinobatkan sebagai warisan budaya oleh Kemendikbud. Ia ikut menginisiasi pembuatan golok besar pada 2015 yang sukses meraih rekor MURI sebagai golok terbesar yang pernah dibuat. Meski begitu, popularitas golok Ciomas berbanding terbalik dengan kondisi pembuatnya yang justru tidak banyak orang yang berminat untuk menjadi pembuatnya. Bahkan, saat ini hanya tinggal tersisa satu keluarga yang masih mempertahankan tradisi dan syarat dalam proses menempa golok Ciomas. "Sehingga, kami berpikir dari kesenjangan itu harus mengubah energi yang tidak berpihak kepada perajin dari popularitas itu," ucapnya. Untuk terus meningkatkan polularitas dan eksistensinya, dia menuturkan, rutin menghadiri diskusi dan seminar dan beberapa kali menjadi pembicara. Salah satunya yang terakhir pada Mei ini, dia mempresentasikan golok Ciomas di Institut Francis De Indonesia. Sementara itu, narasumber lain yang membedah buku tersebut, Udin Saparudin mengatakan, terlepas dari unsur-unsur mistis yang ada dan tersebar di masyarakat, golok Ciomas merupakan kearifan lokal harus tetap dipertahankan eksistensinya. "Kalau bicara golok Ciomas, kami kembali ke keyakinan diri, bahwa ada kearifan lokal yang harus kami pertahankan," ujarnya. Menurut dia, terdapat 7 bentuk golok Ciomas, di antaranya ada Kacangan, Maung, Arjuna, dan bentuk lainnya. Ia berharap, andil pemerintah daerah yang mau turut serta menjaga dan melestarikan eksistensi golok Ciomas. "Golok Ciomas semestinya oleh pemda dijadikan ikon diperdakan. Kalau selama ini, misalnya menara dijadikan ikon dalam konteks ke-banten-an atau badak di Pandeglang dijadikan ikon kenapa golok enggak bisa," katanya. Bedah buku tersebut merupakan salah satu rangkaian dari Book Fair yang diselenggarakan DPK Banten. Hadir pada bedah buku tersebut, tamu undangan dari berbagai universitas dan pengunjung perpustakaan yang ikut bergabung. (Masykur)*

Editor: Kabar Banten


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x