Pertama, Lailatul Qadar hanya turun sekali saat Nabi Muhammad SAW menerima wahyu. Alasannya, karena wahyu Al Quran sudah sempurna dan tidak lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, maka malam mulai (lailatul qadar) tidak hadir lagi.
Kedua, pendapat yang menyatakan lailatul qadar terjadi setiap bulan Ramadan yang merujuk pada teks Al Quran dan Hadits.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, “Carilah malam lailatul qadar pada malam ganjil di antara sepuluh hari terakhir bulan Ramadan”.
Baca Juga: Mengenal Gua Hira, Tempat Nabi Muhammad SAW Menerima Wahyu Pertama Alquran di Bulan Ramadan
Imam Izzuddin bin Abdus Salam dalam kitab “Maqashidul Ibadat” mengungkapkan Lailatul Qadar terdapat pada sepuluh terakhir malam bulan Ramadan, lebih mungkin pada malam ganjil, yakni malam dua puluh satu Ramadan.
Imam Izzuddin mendasarkan pada hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim. Disebutkan Rasulullah SAW pernah melihat lailatul qadar. Disebutkan Masjid Nabawi diguyur hujan pada malam dua puluh satu Ramadan. Kemudian terlihat bekas tanah dan kening dan hidung Rasulullah SAW.
Imam Izzudin berpendapat malam dua puluh satu Ramadan merupakan paling kuat adanya Lailatul Qadar karena pada malam itu bulan purnama seperti belahan mangkuk.
Baca Juga: Tradisi Ramadan, Qunutan yang tak Pernah Lekang Oleh Waktu
Menurut Imam Izzuddin, purnama tidak akan berbentuk seperti belahan mangkuk selain malam ketujuh maupun malam kedua puluh satu. “Siapakah di antara kamu yang ingat ketika bulan purnama terbit seperti belahan mangkuk besar?” (HR Muslim).
Pengurus Pondok Pesantren Dar El Istiqamah Serang Ustad Kholid Ma’mun dalam kajiannya mengungkapkan sejumlah referensi mengenai kapan turunnya Lailatul Qadar.