Mengenal Asal Usul Novel Karya Eduard Douwes Dekker, Soekarno Terinspirasi Cerita Multatuli

17 Juli 2021, 20:02 WIB
Seorang petugas kebersihan tengah menyemprotkan disinfektan pada sebuah Patung replika Eduard Douwes Dekker, di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. /Kabar Banten/Purnama Irawan

KABAR BANTEN - Max Havelaar, ialah judul novel yang ditulis oleh Asisten Residen di Kabupaten Lebak, Eduard Douwes Dekker dengan menggunakan nama pena Multatuli.

Novel karya Multatuli atau Eduard Douwes Dekker ini terbit dalam bahasa Belanda dengan judul Max Havelaar pada tahun 1860.

Novel dengan judul Max Havelaar, juga sebagian orang menyebutnya sebuah roman yang ditulis Multatuli, sejak kemunculannya pada 1860 sudah menjadi kontroversi.

"Sangat tidak lazim roman di zaman itu dituliskan dengan gaya sarkastik dan menggebu-gebu, apalagi dengan cerita langka seputar kehidupan di tanah jajahan," kata Edukator Museum Multatuli Hendra Permana kepada Kabar Banten, Sabtu, 17 Juli 2021.

Tidak hanya masalah gaya penulisan, kontroversinya berlanjut pada substansi ceritanya. Banyak orang mempertanyakan benar atau tidaknya kisah yang ada dalam Max Havelaar.

"Bagi yang belum membaca secara utuh, Max Havelaar merupakan cerita atau pengalaman Multatuli (Eduard Douwes Dekker) sebagai asisten residen di Lebak," katanya.

Baca Juga: Mengenal Asal Usul Nama Jalan Multatuli Rangkasbitung, Jejaknya Ada di Surat Kabar Tahun 1933

Dalam tugasnya sebagai pamong praja Kolonial, ia melihat terjadinya kesewenang-wenangan dalam pengambilan hak pribadi masyarakat kecil di Lebak yang dilakukan pemimpinnya, yaitu Bupati Lebak (R. A. Karta Natanegara).

"Cerita itu terlukiskan dalam kisah Saija dan Adinda, yang mana bupati memaksa mengambil kerbau kesayangan Saija untuk dijadikan jamuan kedatangan dulurnya, Bupati Cianjur," katanya.

Tidak sampai di situ saja, hak pribadi juga termasuk menyerahkan jiwa raga untuk kepentingan bupati, dipaksa untuk membersihkan halaman agar terlihat bagus oleh tamu.

"Eduard Douwes Dekker menggugat masalah ini kepada Residen hingga Gubernur Jenderal, " katanya.

Alih-alih mendukung tanggapan Eduard Douwes Dekker, petinggi-petinggi Kolonial justru menganggap masalah itu adalah sebuah kelumrahan di tanah koloni.

"Dekker sama sekali belum memahami bagaimana sistem kolonial bekerja," katanya.

Baca Juga: Jalan Multatuli di Kabupaten Lebak, Akan Mencontoh Jalan Malioboro Yogyakarta

Di Jawa pada rentang tahun 1830-1870 diberlakukan sistem Tanam Paksa. Orang Belanda menyebutnya Cultuurstelsel (sistem budidaya dan domestikasi tanaman).

"Ciri penting dari sistem ini yaitu terdapat dualisme kekuasaan, Pamong Praja Pemerintahan Belanda berdampingan dengan penguasa lokal," katanya.

Mengapa perlu diterapkan sistem politik dualistis ini dan mengapa tidak Pemerintah Kolonial Belanda langsung yang menjalankan pemerintahan.

"Itu karena masyarakat lokal Indonesia, khususnya Jawa, masih hidup pada tingkat subsistensi dan sistem produksi prekapital. Maka jalan yang paling sesuai untuk menjalankan pemerintahannya, penguasa kolonial memakai sistem pemerintahan tak langsung," katanya.

Hal ini sesuai dengan struktur kekuasaan tradisional di Jawa, yaitu sistem feodal. Dalam struktur sosial feodalistis, raja dan para elite lokal berkedudukan sebagai tuan, dan rakyat sebagai abdi.

"Lewat saluran feodal dengan mempergunakan ikatan desa dan tradisionalismenya, aliran jasa dan hasil bumi ke atas jauh lebih besar daripada aliran jasa dari atas ke bawah," katanya.

Baca Juga: Mengenal Suku Baduy yang Hidup Berdampingan dengan Alam di Tengah Arus Modernisasi

Masyarakat lokal sebagai objek dari sistem ini tentu saja mendapat beban yang besar. Dipaksa bekerja memenuhi permintaan produksi tanaman ekspor dari pemerintah Kolonial juga dipinta yang aneh-aneh oleh penguasa lokal (diambil kerbau, potong rumput seperti diceritakan Max Havelaar).

"Terlepas dari sistem kolonial yang efektif itu, Dekker memang menggugat, tapi tidak terhadap sistemnya, yaitu tanam paksa atau kata orang Belanda disebut Cultuurstelsel," katanya.

Ia pun tidak melihat kebaikan-kebaikan sistem lain. Pandangannya sederhana, Orang Jawa (masyarakat lokal) itulah persoalannya.

"Pemecahan masalahnya, janganlah harta mereka dibunuh," katanya.

Selanjutnya, D. A. Peransi dalam tulisannya mengkritik habis Max Havelaar sebagai sebuah mitos yang dibesarkan dan langgeng hingga hari ini melalui pelajaran-pelajaran di sekolah. Lebih jauh menurutnya, mitos bahwa apa yang ditulis dalam Max Havelaar benar terjadi.

"Peransi pun tidak menyukai hasil dari pembuatan film Max Havelaar (1976) yang menurutnya terlalu dikotomis," katanya.

Baca Juga: Sejarawan Indonesia Bicara Sejarah di Kabupaten Lebak, Ungkap Keluhan Masyarakat Serta Kisah Saijah dan Adinda

Hal ini terlihat dari penggambaran dua tokoh yang terlalu hitam-putih, satu sisi Max Havelaar sebagai protagonis dan sisi lainnya Raden Adipati seorang antagonis.

Kemudian Saijah, Adinda, dan orang-orang Banten lainnya hanya menjadi pelengkap penderita dan mati konyol tanpa perlawanan di ujung Bayonet Belanda.

"Ia pun berkesimpulan bahwa film tersebut tidak mempunyai visi Indonesia dengan tidak adanya penggambaran situasi sosial-politik serta bentuk perlawanan Kolonialisme oleh orang-orang Indonesia," katanya.

"Itu jadi kemenangan dari diplomasi kebudayaan Belanda, kata Peransi," lanjutnya.

Selain itu banyak pihak, baik orang Belanda (akademisi, orang-orang dalam faksi konservatif) maupun elite lokal mengkritik Max Havelaar dalam menunjukkan kebenarannya. Bahkan kritik-kritik itu bersifat tendensius dan provokatif, menyerang kehidupan pribadi Dekker.

"Bagi saya sendiri, benar atau tidaknya cerita dalam Max Havelaar bukan jadi persoalan penting. Pada tataran praktis antara fakta dan fiksi tidak ada perbedaan berarti secara tekstual sehingga sastra dan sejarah dapat diasosiasikan bergulat di dalam satu bidang yang sama, yaitu bahasa," katanya.

Selain itu bila mengutip perkataan Kuntowijoyo, sastra bisa jadi bagian sejarah sebagai cerminan masa itu. Masalahnya sejauh mana Max Havelaar mencerminkan keadaan masa itu? Maka dari itu ditekankan bahwa kebenaran sejarah maupun sastra adalah kebenaran relatif.

"Persoalan lain adalah justru Max Havelaar merupakan bagian dari proses sejarah, terlepas dari benar atau tidak ceritanya," katanya.

Baca Juga: Jaga Wasiat Leluhur, Gunung Liman Dikeramatkan Adat Cibarani dan Suku Baduy

Kekuatan sastra yang dibawa oleh Multatuli mendapat sorotan di publik Belanda tentang bagaimana seharusnya wilayah koloni dikelola tanpa memberatkan masyarakat lokal.

"Pun kalangan nasionalis Indonesia seperti Soekarno, Kartini, dan lainnya terinspirasi oleh cerita Multatuli," katanya.

Ia menambahkan, bahwasannya bagi sebagian orang Multatuli bisa dianggap sebagai pahlawan karena membuka borok kolonialisme Belanda.

Sebagian lainnya menganggap ia bagian dari kolonial, tidak bisa disandingkan bersama tokoh nasionalis seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, atau lainnya.

"Ini menarik karena kontroversi seputar Multatuli masih belum selesai hingga detik ini," katanya.

Kontroversinya hanya itu-itu saja, pahlawan atau bukan, benar atau tidak ceritanya.

"Mengenai Multatuli sebagai bagian dari proses sejarah, serta pembentukan citra Multatuli sebagai identitas di Lebak," katanya.***

Editor: Kasiridho

Tags

Terkini

Terpopuler