Mengenal Asal Usul Novel Karya Eduard Douwes Dekker, Soekarno Terinspirasi Cerita Multatuli

- 17 Juli 2021, 20:02 WIB
Seorang petugas kebersihan tengah menyemprotkan disinfektan pada sebuah Patung replika Eduard Douwes Dekker, di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak.
Seorang petugas kebersihan tengah menyemprotkan disinfektan pada sebuah Patung replika Eduard Douwes Dekker, di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. /Kabar Banten/Purnama Irawan

Tidak sampai di situ saja, hak pribadi juga termasuk menyerahkan jiwa raga untuk kepentingan bupati, dipaksa untuk membersihkan halaman agar terlihat bagus oleh tamu.

"Eduard Douwes Dekker menggugat masalah ini kepada Residen hingga Gubernur Jenderal, " katanya.

Alih-alih mendukung tanggapan Eduard Douwes Dekker, petinggi-petinggi Kolonial justru menganggap masalah itu adalah sebuah kelumrahan di tanah koloni.

"Dekker sama sekali belum memahami bagaimana sistem kolonial bekerja," katanya.

Baca Juga: Jalan Multatuli di Kabupaten Lebak, Akan Mencontoh Jalan Malioboro Yogyakarta

Di Jawa pada rentang tahun 1830-1870 diberlakukan sistem Tanam Paksa. Orang Belanda menyebutnya Cultuurstelsel (sistem budidaya dan domestikasi tanaman).

"Ciri penting dari sistem ini yaitu terdapat dualisme kekuasaan, Pamong Praja Pemerintahan Belanda berdampingan dengan penguasa lokal," katanya.

Mengapa perlu diterapkan sistem politik dualistis ini dan mengapa tidak Pemerintah Kolonial Belanda langsung yang menjalankan pemerintahan.

"Itu karena masyarakat lokal Indonesia, khususnya Jawa, masih hidup pada tingkat subsistensi dan sistem produksi prekapital. Maka jalan yang paling sesuai untuk menjalankan pemerintahannya, penguasa kolonial memakai sistem pemerintahan tak langsung," katanya.

Hal ini sesuai dengan struktur kekuasaan tradisional di Jawa, yaitu sistem feodal. Dalam struktur sosial feodalistis, raja dan para elite lokal berkedudukan sebagai tuan, dan rakyat sebagai abdi.

Halaman:

Editor: Kasiridho


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah