"Lewat saluran feodal dengan mempergunakan ikatan desa dan tradisionalismenya, aliran jasa dan hasil bumi ke atas jauh lebih besar daripada aliran jasa dari atas ke bawah," katanya.
Baca Juga: Mengenal Suku Baduy yang Hidup Berdampingan dengan Alam di Tengah Arus Modernisasi
Masyarakat lokal sebagai objek dari sistem ini tentu saja mendapat beban yang besar. Dipaksa bekerja memenuhi permintaan produksi tanaman ekspor dari pemerintah Kolonial juga dipinta yang aneh-aneh oleh penguasa lokal (diambil kerbau, potong rumput seperti diceritakan Max Havelaar).
"Terlepas dari sistem kolonial yang efektif itu, Dekker memang menggugat, tapi tidak terhadap sistemnya, yaitu tanam paksa atau kata orang Belanda disebut Cultuurstelsel," katanya.
Ia pun tidak melihat kebaikan-kebaikan sistem lain. Pandangannya sederhana, Orang Jawa (masyarakat lokal) itulah persoalannya.
"Pemecahan masalahnya, janganlah harta mereka dibunuh," katanya.
Selanjutnya, D. A. Peransi dalam tulisannya mengkritik habis Max Havelaar sebagai sebuah mitos yang dibesarkan dan langgeng hingga hari ini melalui pelajaran-pelajaran di sekolah. Lebih jauh menurutnya, mitos bahwa apa yang ditulis dalam Max Havelaar benar terjadi.
"Peransi pun tidak menyukai hasil dari pembuatan film Max Havelaar (1976) yang menurutnya terlalu dikotomis," katanya.
Hal ini terlihat dari penggambaran dua tokoh yang terlalu hitam-putih, satu sisi Max Havelaar sebagai protagonis dan sisi lainnya Raden Adipati seorang antagonis.