Akan tetapi sampai saat ini kita tidak akan menemukan batu nisan pekuburan satu pun di sana.
Pada saat itu kondisi pekerja paksa yang meninggal sangatlah biadab dan kejam.
Mereka dikuburkan dalam satu lubang yang sama sekitar 4-5 mayat. Dalam prosesnya setiap hari puluhan mayat dikuburkan di sana, karena ada saja yang mati pada saat itu.
Para pekerja Romusha melakukan pekerjaan tak henti-henti, sehingga penampilannya bagaikan gelandangan, karena pakaian yang mereka pakai compang camping dan banyak yang menggunakan bahan pakaian dari karung serta tidak sedikit yang tidak berpakaian atau bertelanjang dada.
Mereka diberikan jatah beras sehari 200 gr per orang dengan lauk pauk seadanya, tetapi pekerjaan nonstop dari pagi hari hingga sore hari.
Dan jika salah satu dari mereka melakukan kesalahan mereka dipukul dan dipecut seperti binatang.
Cerita dari salah satu orang tua yang kini menetap di Desa Lamaran, Cirenang ini merupakan salah seorang yang menjadi pekerja paksa yang saat itu masih hidup dan tinggal di sekitar Lapangan Udara Gorda.
Ada kurang lebih sekitar 25 orang dengan rata-rata usia sudah mencapai 70-an tahun.
Dan setelah Indonesia merdeka, mereka hidup sebagai petani, namun sekarang tidak lagi karena sudah tidak kuat lagi bekerja.
Jasa mereka sudah dilupakan, padahal merekalah yang membangun pangkalan-pangkalan militer yang ada di Wilayah Banten.