Kampanye Pilkada di Masa Pandemi

- 27 Oktober 2020, 22:07 WIB
Masudi SR, Anggota KPU Banten
Masudi SR, Anggota KPU Banten /

Dalam setiap pemilihan kepala daerah, ada satu fase dimana dimungkinkan terjadinya percakapan, penyampaian gagasan, dan kehendak dari satu pihak kepada pihak lain. Antara pemilih dengan yang dipilih. Calon dengan pemilik suara. Satu tahapan yang waktunya dibatasi dan karenanya dianggap sangat penting, bernilai strategis. Pada fase inilah penetrasi politik dilakukan sedalam mungkin sebagai upaya perkenalan diri, visi, misi, dan program kandidat

Dan memang, dimana pun Pemilu atau Pilkada dilaksanakan di belahan dunia ini, tahapan kampanye selalu dibatasi waktunya. Itu sebabnya semua calon berlomba mengisinya dengan semaksimal mungkin. Dalam waktu yang terbatas, harus diperoleh hasil yang besar.  

Banyak cara dilakukan meraih suara pemilih untuk mendapatkan kekuasaan. Janji-janji politik yang muluk nyaris tidak masuk akal disampaikan seperti tanpa beban. Terkesan seperti hanya basa-basi politik saja. Hampir tidak dijumpai ada kegiatan yang sifatnya edukasi politik bagi masyarakat.

Baca Juga : Kaum Hawa di Panggung Pilkada

Sering pula masa ini menjadi tahapan yang paling meriah. Ada kegiatan yang melibatkan orang dalam jumlah ribuan, bergerak dan berkumpul di sebuah lapangan. Kegiatan yang dibungkus dengan rapat umum ini, isinya lebih banyak musik dan nyanyian. Unjuk kekuatan jumlah massa pendukung.

Dengan rupa-rupa kegiatan itu, tidak salah rasanya bila ada yang menilai kampanye model ini, hanya menempatkan pemilih sekadar pemberi suara untuk memenangi pemilihan. Ketika kekuasaan sudah ditangan, pemilih secara perlahan-lahan ditinggalkan. “pesan dan janji-janji politik tenggelam dalam hiruk-pikuk pembagian kue kekuasaan” begitu kata Firmanzah lewat bukunya Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas (2012)

Itulah salah satu sebab mengapa kedewasaan politik masyarakat kita tumbuhnya agak lambat. Meski negara ini pernah disebut-sebut sebagai negara demokratis ketiga di dunia, tetapi itu baru diaspek proseduralnya.  Pemilihan kepala eksekutif dan legislatif  secara periodik berlangsung dengan tertib, aman dan lancar. Akses pemilih ke tempat pemungutan suara tidak dibatasi. Semua bisa memilih secara langsung.

Baca Juga : Saatnya Kampanye Virtual

Tetapi dari aspek substansi, demokrasi kita bak kata pepatah, masih jauh panggang dari api. Salah satu sebabnya, karena partai politik lebih mementingkan kampanye pemilu yang bersifat jangka pendek itu dari pada kampanye politik yang lebih bersifat jangka panjang. Untuk membangun kedewasaan politik dan demokrasi tidak bisa berharap pada satu tahapan saja. kampanye pemilu atau pilkada lebih banyak bersifat pragmatis-transaksional, tidak memiliki daya tahan memori kolektif yang kuat dan lama.

Karena itu tidak tepat jika menilai kegairahan hidup berdemokrasi hanya dilihat pada masa kampanye. Dengan semua pengalaman kepemiluan kita selama ini, tahapan kampanye bukan waktu yang tepat untuk melihat bekerjanya prinsip dan nilai demokrasi secara benar. Masa menjelang pemilihan ini sering diisi kepura-puraan.  Pura-pura dermawan, peduli lingkungan, pura-pura berpihak pada penegakan dan keadilan hukum, pura-pura akan menyejahterakan. Akibatnya sebagian masyarakat pun tampil dengan kegairahan yang semu.

Di Tengah Pandemi

Tahun ini, gegap gempita kampanye pemilihan tidak lagi kita saksikan seperti pada pemilihan sebelumnya. Suasana duka yang melanda dunia, yakni pandemi Covid-19, memaksa proses sirkulasi elit politik di tubuh eksekutif di negara-negara yang melaksanakannya harus menyesuaikan dengan keadaan. Adaptasi kehidupan baru dalam tahapan kampanye, berdampak pada metode, jenis, dan model kegiatan yang dilakukan para kandidat. Tidak ada lagi arak-arakan, pawai atau pertemuan massa di ruangan terbuka. Tidak dibenarkan mengadakan kegiatan sosial yang mengundang kerumunan.

Baca Juga : Memilih

Pertemuan kandidat dengan konstituen hanya bisa dilakukan dengan jumlah tidak lebih dari 50 orang. Itu pun harus dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Tak ada lagi pertunjukan seni, dan perlombaan olahraga. Pelaksanaan kegiatan kampanye diarahkan memanfaatkan ketersediaan teknologi informasi yang cukup berlimpah. Apalagi penduduk negeri ini sudah tidak asing lagi dengan alat komunikasi canggih dengan beragam rupa. Bahkan dari 272,1 juta penduduk, sebesar 175,4 juta diantaranya  adalah pengguna internet. Sedangkan jumlah pengguna media sosial aktif sebesar 160 juta jiwa. Diantara media sosial yang paling banyak “dipelototin” adalah You Tube, WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, Line, dan FB Messenger. (Detik.com, 20/2/2020)

Tidak mudah memang meyakinkan para calon untuk bersedia menggunakan jalur dunia maya ini untuk menawarkan visi, misi, program mereka. Cara yang paling minim untuk terjadinya penularan virus korona dan karenanya memberi jaminan bagi semua pihak untuk tetap sehat. Namun, meski sehat dan rendah diongkos, kampanye jenis ini dianggap kurang “greget” untuk meyakinkan pemilih. Tatap muka masih menjadi kegiatan favorit yang terus mendominasi. Apalagi opsi ini masih tersedia dalam aturan yang dikeluarkan lembaga pemilihan.

Persoalan terbesar Pilkada saat ini adalah masih tinggi keraguan publik terhadap kemungkinan tidak terjadinya penambahan orang yang tidak tertular Covid-19. Salah satu episentrum penularan itu adalah tahapan kampanye yang berlangsung selama 71 hari. Meski Komisi Pemilihan Umum telah mengatur metode dan jenis kegiatan yang boleh dan tidak boleh, tetapi publik ragu aturan itu bisa berlaku di lapangan.

Baca Juga : Bawaslu Tertibkan APK di Angkutan Umum Cilegon

Ini menjadi tantangan bagi seluruh kandidat dan tim pemenangannya. Sebagai pelaku utama kampanye, para calon harus bisa memperlihatkan komitmen yang sudah diikat dalam pakta integritas ketika tampil di lapangan. Seketat apapun persaingan, atau setipis apapun selisih potensi kekalahan atau kemenangan dan karena itu harus diintervensi lewat kampanye, sejatinya tetaplah dilakukan dengan cara yang sehat dan bertanggungjawab.

Pada akhirnya yang bisa kita ingatkan kepada para pelaku kampanye, tetaplah mengisi ruang politik itu dengan cara-cara yang dibenarkan oleh regulasi, etika dan hati nurani. Tempatkan masyarakat itu sebagai subjek pemilihan. Sebab atas kebaikan dan keikhlasan hati merekalah calon akan menjadi pemenang. Jangan tinggalkan noda yang hitam dimasa kampanye ini dengan menjadikan masyarakat pemilih hanya sekumpulan orang yang memiliki hak suara untuk dirayu, dibujuk, diiming-iming, bila perlu dipaksa untuk memilih atau tidak memilih. (Masudi SR, Anggota KPU Provinsi Banten 2018-2023).***

Editor: Maksuni Husen


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x