Mereka Tercabik Puasa

- 23 April 2021, 07:16 WIB
Prof Dr. KH. Fauzul Iman, MA
Prof Dr. KH. Fauzul Iman, MA /

KABAR BANTEN - Di tengah gelombang kehidupan yang makin sesak dengan warna warni kreasi modern dan pergaulan sosial,  rasanya merupakan tantangan tersendiri bagi ibadah Ramadan.

Sementara pertarungan kehidupan yang kerap melahirkan ketimpangan sosial tak kunjung sirna. 

Ibadah puasa yang sejatinya menjadi vitamin rohaniah guna membentengi ketahanan moral dan mental keperibadian manusia terlucuti oleh hingar bingarnya gelombang kreasi kehidupan modern.

Baca Juga: Hidupkan Malam, Raih Lailatul Qadar di Bulan Ramadan

Kenyataan ini tidak dapat dibantah saat sebagian pelaku puasa tak peka lagi pada  etika dan rasa dalam menyebarkan berita.

Enggan berbagi dan mengabaikan sopan santun pada sesama.

Pelaku puasa dalam situasi apapun sepatutnya memiliki kuasa jiwa nan hening, tidak gaduh. 

Tumbuh empati dan bersedia tahan diri berhadapan dengan situasi apapun.

Baca Juga: Melihat 'Cahaya' dari Gua Hira

Nabi dengan cerdas telah mengantisipasi lewat haditsnya , "Bila Anda dicaci dan diajak berekelahi di kala sedang berpuasa ",  sabda Nabi SAW, "Maka katakanlah aku sedang perpuasa".

Didikan Nabi ini sungguh memiliki daya cakup kendali psiologi yang amat tinggi.

Bukan saja dari sisi keharusan puasa membendung ombak emosi yang membuncah . Tapi juga dari sisi perspektif resiliansi puasa dalam menghadapi goncangan budaya (culture sock).

Kenyataannya tidak sedikit para pelaku puasa yang mentalnya tercabik oleh ibadah puasanya sendiri.

Baca Juga: Dosen IAIB Serang Raih Gelar Doktor,  Disertasi Angkat Perspektif Alquran Terhadap Ujaran Kebencian

Mereka mengalami kepongahan holistik  guna memposisikan ibadah puasanya di zona batiniah yang hening.

Mereka dengan mental kekanak- kekanakannya tidak berdaya menahan diri dari goncaangan budaya.

Antara lain , terutama, prilakunya akhir-akhir ini tak berdaya menjdi kendali tangguh mendayagunakan peradaban maju teknologi medsos.

Puasa mereka sekadar menahan lapar. Tapi kelaparannya tidak menjadi kendali evaluasi dan pengasah rasa sosial pada pihak yang kini telah mengalami derita  lapar dan sengsara.

Bahkan kini teknologi medsos menjadi objek curhat canda dan cerca yang amat mengerikan.

Baca Juga: Syekh Nawawi Al Bantani, Berjuang untuk Bangsa Indonesia dari Negeri Hijaz

Sungguh ironis ! , medsos yang seharusnya menjadi peluang pencerahan Ramadan membangun kebeningan spiritual, menumbuhkan rasa kedamaian dan solidaritas sosial dalam mengangkat derajat kaum pinggiran, kini ruang medsos justru dicederi dan dicabik oleh sebagian para pelaku ibadah puasa sendiri.

Ruang medsos menjadi ramai dimuati  orang berpuasa yang tak asa dengan kepedulian dan kekerabatan.

Sekali lagi sungguh ironis ! dari pelaku puasa itu sejatinya terbit pribadi terdepan yang mampu meneledani pengisian medsos ke arah pendidikan berkualitas seperti berupaya menghindari sikap anti cela, adu celoteh yang mengundang murka sosial, saling hujat atau berkelahi dan menghindari postingan-postingan gambar yang berhiaskan ria dan penonjolan gambar nora yang memamerkan kesuksesan pribadi.

Baca Juga: Tiga Macam Ujian dan Derajat Kesabaran Manusia

Kontra dengan pesan hadits di atas, sebagian pelaku puasa itu kini terjerumus dalam perangkap dialektika anak-anak keturunan medsos.

Lihat saja di twitter, facebook, instagram dan entah model keturunan apa lagi namanya, yang jelas mereka telah menaburkan nokta kesejarahan puasa di lembaran kertas medsos nan buram.

Bahkan yang paling mengenaskan para pelakunya itu tidak saja berasal anak-anak yang berkamuflase dewasa tetapi juga dari orang-orang dewasa yang berkamuflase anak-anak.   

Sunguh prilaku inilah yang dicabik oleh hadits di diatas lantaran mereka telah tercabik oleh ibadah puasanya sendiri. Nauzubillah !*** (Fauzul Iman, Rektor UIN SMH Banten)
     
       

  
      

Editor: Maksuni Husen


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x