Hingga 2022, MUI Banten Telah Menerbitkan 9.374 Sertifikat Halal, Terbanyak untuk Perusahaan Makanan

15 Maret 2022, 22:38 WIB
Ketua Umum MUI Banten KH Hamdi Maani menyampaikan hingga 2022 , MUi Banten sudah menerbitkan 10.000 sertifikat halal. /Kabar Banten

KABAR BANTEN - Hingga tahun 2022, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten telah menerbitkan sebanyak 9.374 sertifikat halal. Jumlah tersebut didominasi perusahaan kecil dan menengah.

Menurut  Ketua Umum MUI Banten KH Tb Hamdi Ma'ani,  perusahaan yang telah mendapatkan sertifikasi halal meliputi  perusahaan kecil 5.999 atau 64 persen dan persahaan kecil menengah 3.375 atau 36 persen.

Dikatakan KH Hamdi,  untuk sertifikasi halal perusahaan berjenis makanan dan bahan makanan sebanyak 8.565, minuman dan bahan minuman sebanyakn 713, kosmetika sebanyak 7 persen, katering & rumah makan (RM) sebanyak  67 persen, RPH/A sebanyak 21 persen.

Baca Juga: Ketua Harian LPTQ Banten Nilai Logo Halal Produk Bukan untuk Konsumsi Baca Tulis, Begini Penjelasannya

Sementara Sekretaris Umum MUI Banten H Endang Saeful Anwar mengatakan, terkait sertifikasi halal, MUI masih tetap memiliki peran penting. Menurut Endang, Pasal 10 UU JPH, BPJPH dalam melaksanakan kewenangannya akan bekerjasama dengan MUI.

Kerjasama dimaksud, kata Endang,  dalam bentuk sertifikasi auditor halal,  penetapan kehalalan produk dan,  dan akreditasi lembaga pemeriksa halal (LPH).

“Kerjasama tersebut berkaitan dengan kesesuaian syariah berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI dan dijelaskan secara eksplisit dalam PP Nomor 31 tahun 2019 tentang Pelaksanaan atas UU-JPH,” kata Endang.

Baca Juga: Label Halal Baru Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal, Ini Filosifisnya

Selanjutnya, tutur Endang, Pasal 23 PP No. 31 mengatur kerjasama BPJPH dengan MUI mengenai penetapan kehalalan produk. Kerjasama penetapan kehalalan produk  dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut.

Pertama, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) menyerahkan hasil pemerikasaan dan/atau pengujian kehalalan produk kepada BPJPH disertai dengan dokumen produk dan bahan yang digunakan, proses produk halal (PPH), hasil analisis dan/atau spesifikasi, berita acara pemeriksaan dan rekomendasi.

Kemudian, BPJPH akan memverifikasi atas dokumen yang disampaikan LPH dan menyampaikan hasil verifikasi tersebut kepada MUI.

Baca Juga: Label Halal Indonesia Dinilai Jawa Sentris, Ini Penjelasan BPJPH

“MUI lalu mengkaji hasil verifikasi BPJPH melalui sidang fatwa halal dengan mengikutsertakan pakar, unsur kementerian, lembaga dan institusi terkait. Proses dan pemberitahuan hasil penetapan kehalalan atau ketidakhalalan produk kepada BPJPH akan dilakukan oleh MUI selama 30 hari kerja, sejak menerima hasil verifikasi dari BPJPH. Keputusan penetapan kehalalan produk oleh MUI menjadi dasar bagi BPJPH dalam menerbitkan sertifikat halal,” kata Endang.

Ditegaskan Endang, kerjasama BPJPH dan MUI yang terakhir adalah terkait dengan akreditasi LPH. Pasal 24 PP No. 31 mengatur, kerjasama akreditasi LPH tersebut berupa pelaksanaan penilaian kesesuaian syariah oleh MUI yang difasilitasi oleh BPJPH.

“Dapat dipahami, BPJPH dan MUI mempunyai peran penting dalam penyelenggaraan jaminan produk halal di Indonesia. Peran BPJPH saat ini lebih fokus pada aspek pengaturan, operasional, administrasi keuangan, kerjasama dan edukasi. Sedangkan MUI lebih berperan kepada penetapan kehalalan dan ketidakhalalan suatu produk serta aspek syariah lainnya,” ujar Endang menegaskan.

Baca Juga: Nasib Produk Bersertifikat Halal MUI, Setelah Label Halal Indonesia yang Baru Diberlakukan, Ini Menurut BPJPH

Dalam Pasal 33, kata dia, peran MUI setelah diberlakukan undang-undang, meliputi pertama penetapan hehalalan produk dilakukan oleh MUI.

Kedua, penetapan kehalalan produk dilakukan dengan sidang Fatwa Halal. Ketiga, sidang fatwa halal mengikut sertakan para pakar dan auditor LPH (LPPOM MUI).

Keempat, sidang fatwa halal membuat Keputusan Fatwa tentang kehalalan produk yang telah dibahas dalam sidang fatwa.

Kelima, keputusan fatwa kehalalan produk ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris  Komisi Fatwa MUI.

Keenam, keputusan penetapan Halal Produk disampaikan kepada BPJPH.  Ketujuh, bagi produk yang telah dinyatakan halal, mendapatkan Isbat Halal (ketetapan halal) dari MUI sebagai persyaratan untuk mendapatkan sertifikat halal dari BPJPH. 

Baca Juga: Pengurus MUI Banten Masa Khidmat 2021-2026 Dikukuhkan, Ini Pesan KH Miftachul Akhyar

Tantangan

Endang mengakui, dalam undang-undang ini terdapat beberapa tantangan, antara lain, pertama tingkat kesadaran masyarakat Indonesia dalam menggunakan produk halal masih minim.

Kedua, belum adanya persamaan persepsi di masyarakat tentang produk halal. Ketiga, perangkat aturan belum sepenuhnya tersusun dengan kurangnya dukungan regulasi dan kebijakan pemerintah.

Keempat, lembaga pelaksana belum banyak terbentuk. Kelima, tingkat kesadaran pelaku usaha untuk menerapkan standar halal juga masih rendah, sehingga masih ada pelaku usaha yang belum mendaftarkan produknya untuk memiliki sertifikat halal.

“Oleh sebab itu, kita mesti hati-hati dalam memilih dan mengonsumsi minuman dan makanan serta obat-obatan dan kosmetika. Selain dari pada jaminan halal, maka unsur thayyib (baik) dan hygienis pun perlu menjadi pertimbangan bagi seorang muslim,” katanya.

Baca Juga: Wanti-wanti Soal Gerakan Keislaman Ekstrim, KH Tb Hamdi Maani: Paradigma MUI tak Ikut Kiri atau Kanan

Menurut Endang, sebagai lembaga yang diberi amanah Undang-undang Nomor 33 tahun 2014, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menandai era baru jaminan produk halal di Indonesia.

“Jika sebelumnya Jaminan Produk Halal (JPH) dilaksanakan oleh masyarakat dan bersifat voluntary, melalui UU 33/2014, tugas JPH beralih dan menjadi tanggung jawab negara (pemerintah) dan bersifat mandatory. Sebelum UU 33 /2014, penjaminan produk halal dilaksanakan atas kesadaran individual atau organisasional, saat ini menjadi tanggung jawab kolektif (jama’i),” katanya.

Ditegaskan Endang, konsekuensi kewajiban bersertifikat halal bagi produk  sangat krusial. Satu sisi, mandatory ini memastikan produk yang dikonsumsi dan digunakan oleh masyarakat terjamin kehalalannya.

Namun di sisi lain, diksi “kewajiban”  menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah untuk menghubungkan banyak  nilai-nilai kehalalan yang saat ini masih terserak ke dalam berbagai sektor.***

Editor: Maksuni Husen

Tags

Terkini

Terpopuler