KABAR BANTEN - Leuwidamar merupakan salah satu kecamatan yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Lebak.
Dari dulu hingga sekarang, Leuwidamar merupakan tempat pemukiman masyarakat Kanekes atau masyarakat adat Baduy.
Leuwidamar, merupakan salah wilayah di Banten yang hingga kini, masih terjaga dengan baik kekayaan alam dan kekayaan Budayanya.
Masyarakat Kanekes atau adat Baduy, merupakan masyarakat adat yang berbudaya, yang menyatu dengan alam, dan benar-benar menjaga budaya adat dan lingkungannya agar tetap asri.
Baca Juga: Mengenal Asal Usul Nama Bojonegara, Wilayah Pesisir Kabupaten Serang, Negerinya Para Bajak Laut
Dilansir KabarBanten.com dari toponimi nama-nama tempat dalam buku Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten 2014 yang disusun oleh Juliadi dan Neli Wachyudin, nama Leuwidamar sendiri diambil dari dua suku kata.
Dua suku kata itu yakni ‘Leuwi’ dari kata ‘Leuweung’ atau hutan, dan ‘Damar’ yatu tanaman atau pohon berukuran besar dengan nama latin Sarea javanica.
Selain itu, arti lain dari kata Leuwidamar sendiri yakni ‘Leuwi’ memiliki arti terang, dan ‘Damar’ memiliki arti cahaya atau lampu.
Jadi Leuwidamar dapat diartikan sebagai cahaya atau lampu yang terang.
Adapun untuk suku baduy atau masyarakat Kanekes yang hidup di pemukiman kecamatan Leuwidamar sendiri.
Sebagaimana dilansir KabarBanten.com dari laman dispar.bantenprov.go.id, suku baduy merupakan suku yang hidup sederhana, terisolir dari dunia luar namun menyatu dengan alam.
Suku baduy sendiri terbagi menjadi dua yakni suku baduy dalam dan baduy luar. Jika dilihat dari penampilan, suku baduy dalam biasanya memakai baju dan ikat kepala dengan warna yang serba putih.
Baca Juga: Mengenal Asal Usul Tirtayasa Kabupaten Serang, Nama Raja Banten Sang Perencana Pembangunan Pertanian
Sementara, baduy luar biasanya memakai baju berwarna hitam dan ikat kepala berwarna biru.
Selain itu, perbedaan lainnya antara suku baduy dalam dan baduy luar yakni cara hidupnya.
Baca Juga: Mengenal Asal Usul Nama Lebak, Pemberian Raja Purnawarman, Prasastinya Ada di Kabupaten Pandeglang
Baduy dalam, hingga saat ini masih memegang teguh konsep ‘Pikukuh’ yakni aturan adat mengenai kehidupan yang apaadanya.
Dalam kehidupan keseharian, suku baduy dalam hidup dengan apa adanya di alam, sehingga banyak pantangan yang masih sangat ketat diberlakukan di masyarakat suku baduy dalam.
Sedangkan cara hidup baduy luar, sudah mulai mengenal perkembangan zaman dan modernisasi. Baduy luar dalam kehidupan kesehariannya sudah mulai sedikit terkontaminasi oleh udaya modern.
Meski sudah mulai terkontaminasi, masyarakat adat Kanekes atau suku baduy hingga saat ini masih menghormati hukum adat.
Salah implementasinya, mereka tidak tidak menggunakan alat transportasi apapun, dan untuk bepergian mereka masih berjalan kaki.
Bahkan, dalam berjalan kaki, mereka memiliki tidak menggunakan alas kaki.
Untuk mata pencaharian masyarakat suku baduy sendiri, umumnyya adalah berladang dan bertani.
Dalam prakteknya, mereka masih menggunakan cara-cara tradisional, bahkan mereka tidak menggunakan kerbau dan sapi untuk mengolah lahan.
Hasil pertanian atau komoditas tumbuhan yang paling besar di alam baduy sendiri adalah kopi, padi, dan umbi-umbian.
Sementara, untuk tradisi kesenin sendiri, suku baduy mengenal budaya menenun yang hanya dilakukan oleh kaum perempuan.
Baca Juga: Kasepuhan Cibarani di Kabupaten Lebak, Dibentengi Perbukitan, Belum Pernah Terinjak Kaki Penjajah
Hasil tenun tersebut, jika lembut dijadikan sebagai pakaian. Sementara jika kasar, biasanya dijadikan sebagai ikat kepala atau ikat pinggang.
Adapun untuk adat istiadat suku adat baduy, mereka masih mengenal dan melaksanakan ritual bulan Kawalu yakni bulan larangan.
Baca Juga: Sejarah Panjang BMKG (1) : Berawal dari Pengamatan dr. Onnen
Ritual kawalu tersebut, wajib dilaksanakan selama tiga bulan setahun guna berdoa kepada Tuhan yang maha esa agar diberikan keberkahan dan keselamatan.***